Tuesday, August 2, 2016

KRISIS LEGITIMASI DAN EKSISTENSI PARTAI POLITIK


KRISIS LEGITIMASI DAN EKSISTENSI PARTAI POLITIK
(
Menyikapi kegemaran Anggota Dewan Aceh Yang Suka Studi Banding ke Luar Negeri)
Oleh : Khairul ahmadi/140801008/Ilmu Politik
ABSTRAK
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham demokrasi dan juga sebagai nagara hukum, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam konstitusinya UUD 1945. sebagai negara demokrasi maka kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan, wujud dari sebuah implementasi demokrasi dapat dilhat dalam proses pemilihan Umumu atau biasa disingkat dengan PEMILU. Pemilihan Umum ini digunakan untuk memilih wakil rakyat baik untuk duduk dieksekutif maupun legislatif baik ditingkat pusat maupun daerah. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian deskriptif, pendekatan normatif yang terfokus pada penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, sinkronasi vertical dan horizontal dari peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum dan sejarah hukum serta ditambah dengan data empiris. kemudian dikelompokkan ke dalam bahan penelitian, urgensi dan relevansi dalam objek penelitian, kemudian diolah, diklasifikasikan secara sistematis, logis, dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai objek penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif yuridis. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pada hakikatnya partai politik dibentuk memiliki sebuah tujuan yang mulia dengan peranannya dapat membantu proses tujuan negara yang dicita-citakan. oleh karena itu maka diperkuatlah kelembagaannya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, namun melihat proses penerapan untuk mencapai hakikat tujuan partai politik tersebut ternyata masih jauh dari apa yang menjadi harapan kita bersama. Pencapaian tujuan tersebut terhambat karena banyak masalah internal partai khususnya kader-kader yang tersandung korupsi, permasalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi dari partai politik itu sendiri. Oleh karena itu Efektifnya tujuan dan fungsi partai politik sangat menentukan bagaimana baik atau buruknya pengaruh yang akan di timbulkan dalam negara. Masuknya partai politik sebagai peserta pemilihan umum dalam proses demokratisasi untuk duduk dieksekutif dan
legislatif pusat maupun daerah yang secara konstitusional diatur dalam UUD 1945, memberikan ruang yang begitu besar kepada partai politik untuk membuat pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dari kader-kader partai politik inilah yang akan menjadi wakil rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting dan strategis dalam negara, sehingga keberadaan partai politik sangat-sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
UUD 19453 Pasal 1 ayat (2) menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar, di sini jelas kita melihat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham kedaulatan rakyat atau biasa disebut dengan demokrasi. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan. UUD 1945 adalah Konstitusi negara Indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Karena memang pada hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat[1].
Masuknya Partai politik sebagai perserta pemilihan umum, memperlihatkan kepada kita bahwa dalam setiap sistem demokrasi partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti yang dikatakan oleh Schattsheider, “Political parties created democrasy.” Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the dgree of institutionaliztion) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkkable save in terms of the parties.”[2]
Partai politik adalah merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis[3]. Secara defenitif partai politik itu sendiri adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4] Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) Komunikasi Politik, (ii) Sosialisasi politik (Political socialization), (iii) Rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (Conflict management).[5] Di sini jelas memang terlihat bagaimana arti penting sebuah partai politik dalam sebuah sistem demokrasi.
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu “at the expense of the general will” atau kepentingan umum.
Sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas sangat jelas bahwa keberadaan partai politik dalam sebuah sistem demokrasi yang konstitusional memiliki peran dan pengaruh strategis didalam mempercepat tujuan negara.
Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam suatu karya ilmiah berbentuk jurnal dengan judul : “Krisis Legitimasi dan Eksistensi Partai Politik (Menyikapi Kegemaran Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Yang suka studi Banding Ke luar Negeri).”
B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang melandasi terjadinya krisis legitimasi ?
2.      Bagaimanakah efektivitas partai politik dalam sistem Hukum dan Pemerintahan Demokrasi Indonesia?
3.      Apa landasan Study Banding yang dianggap tidak ada manfaatnya, namun tetap menjadi prioritas para anggota dewan ?
C. Metode Penelitian
Data yang dihimpun dengan cara mengumpulkan bahan analisa, kemudian dikelompokkan ke dalam bahan analisa, urgensi dan relevansi dalam objek analisa, kemudian diolah, diklasifikasikan secara sistematis, logis, dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai objek penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif yuridis.
PEMBAHASAN
A. Kritis Legitimasi antara masyarakat dengan para anggota dewan
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau dalam pengertian abstraknya adalah hasutan, sehingga orang lain akan mengikuti sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang pengajak tadi, atau yang memiliki kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat. dengan kata lain suatu kekuasaan penuh akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.

a.       Defenisi Legitimasi Menurut Max Weber
Legitimasi adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan, dan bagaimana kepercayaan dan loyalitas masyarakat yang mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan, dan kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Sedangkan Tradisi Nasional, adalah seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan, keputusan, atau kebijakan yang diambil pemimpin dalam ruang lingkup tradisional.
Menurut Weber, ada 3 cara untuk memperoleh legitimasi tersebut : (1). Legitimasi tradisional, (2). Kharisma, (3). Legal/rasional.
b.      Penyebab terjadinya Krisis legitimasi
Dalam pesfektif Habermas (1975), krisis legitimasi merupakan hasil dari ketidakmampuan sistem politik untuk mencegah kontradiksi dalam sistem sosial yang ada. Namun jika kita menelaah langsung sejauh mana perkembangan situasi dan kondisi indonesia saat ini, yang tentunya tidak lepas dari hubungan/interaksi sosial antara masyarakat dengan pemilik kekuasaan.
Banyak sekali studi kasus yang membahas persoalan ini, sisi positife dan negative berpacu mendefenisikan persoalan ini. Lazimnya realita yang ada, hilang nya kpercayaan masyarakat terhadap mereka (Senator) tidak lain disebabkan karena ketidaksesuaian mengenai eksistensi dan kontribusi para anggota dewan yang selalu mengingkari janji-janji nya terhadap masyarakat. Disaat mereka (senator) sebelum menjadi anggota legislatife selalu berjanji untuk menciptakan tatanan hukum yang adil untuk mencapai kesejahteraan. Namun, nyatanya mereka hanya sekedar janji kampanye, mereka selalu mengatakan untuk mengedepankan kepentingan masyarakat, namun nyatanya mereka lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadinya, mereka selalu mengatakan akan bekerja sekuat tenaga dengan suka rela, dan nyatanya jangankan untuk urusan besar, untuk rapat saja mereka di bayar baru mau datang, bagaimana jika turun lapangan.
B. Efektivitas Partai Politik Dalam Sistem Hukum dan Pemerintahan Demokrasi Indonesia
a)      Tujuan Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pada Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) Menyatakan:
1.      Tujuan umum Partai Politik adalah:
a.      Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.  Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2.      Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a.       Mendapatkan Legitimasi, guna untuk memperlancar proses kekuasaan
b. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
c.       Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
d.      Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[6].
3.      Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional :
Pada dasarnya ide dan gagasan itu adalah suatu hal yang baik dan Tentu memiliki tujuan yang sangat mulia dengan berusaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar tahun 1945 menuju negara aman, adil, makmur dan sejahtera. Sudah jelas memang kontribusi Partai politik sebagai infrastruktur politik dapat dikatakan sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainakn peranan yang penting sebagai penghubung antara the state (pemerintahan negara) dengan the citizens (warga negaranya) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Sri Soemantri M., mengemukakan, pusat-pusat kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan suatu negara itu berada dalam 2 (dua) suasana, yaitu : (1) infra struktur politik, Partai politik merupakan salah satu pusat kekuasaan yang berada di Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya di Indonesiasupra struktur politik; (2) Suorestruktur .(Bandung: Pustaka Sutra, 2008), hlm. 12-13.
Partai politik, dalam kontribusi dan berbicara masalah eksistensi nya terhadap masyarakat merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara. Akan tetapi, dalam pandangan negatife, menyatakan bahwa partai politik tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan sekedar sebagai sarana bagi mereka untuk memuaskan birahi kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu menurut Robert Michels, partai politik seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.
Pandangan negatif (skeptis) itu kemudian muncul dengan melihat kenyataan yang terjadi saat ini, pada prakteknya dalam prosesi untuk mewujudkan tujuan partai politik tersebut yang tujuan mulianya selaras dengan cita-cita bangsa dan negara ternyata masih jauh dari apa yang menjadi harapan kita bersama. Hal tersebut dikarenakan banyaknya permasalahan yang terjadi di partai politik mulai dari sengketa internal partai politik; sengketa antarpartai politik atau antara partai politik dengan subjek hukum lainnya; pertentangan antara partai politik dengan pemerintah; dan perselisihan mengenai hasil pemilihan umum (pemilu) antara partai politik sebagai peserta pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.
4.      Fungsi Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) menyatakan:
5.      Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a.       Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.      Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c.       Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d.      Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e.       Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
6.      Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
 “Trias Politica” adalah teori yang didalamnya terdapat beberapa penjelasan mengenai besar atau tidaknya perananpartai politik Khususnya dalam lingkup (Legislatif: MPR dan DPR, Eksekutif: Presiden, dan Yudikatif: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) berikut ini:
Menurut UUD 1945 pada Bab II Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Lebih lanjut Menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada Pasal 1 angka 1 yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”[7] Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan salah satu lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara sebagai wujud dari demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Hal tersebut sudah ditegaskan dalam UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 3 yang menegaskan: “MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.” Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memiliki status sebagai lembaga negara dibentuk tentu memiliki wewenang dan tugas. Adapun wewenang dan tugas tersebut diatur dalam UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 4 dan 5.
Apabila kita menelaah pengaruh paratai politik maka jelas kita dapat menggaris bawahi pada syarat pemberhentian pada huruf d, g dan h. Dimana dalam pemberhentian sebagai Anggota MPR/DPR dapat diusulkan oleh partai politik, diberhentikan keanggotannya di partai politik dan menjadi anggota partai politik lainnya. Secara teoritis ini dikenal sebagai 14 Penjelasan Mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut UUD 1945 dan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Recall, dimana “Hak Recall” tersebut juga diberikan kepada partai politik. Apabila hal tersebut ini terjadi maka para anggota DPR di parlemen dalam menyampakan pandangan atau pendapatnya nanti akan mendapat intervensi dari partai politik dimana ia berasal. Sehingga akan cenderung yang diperjuangkan bukanlah kepentingan rakyat, tapi malah kepentingan partai politik.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Hal tersebut di tegaskan dalam pasal 68 UU No 16 tahun 2014 tentang MD3, adapun fungsi lembaga ini dibuat lebih lanjut pada Pasal 69 dan Pasal 70. Menelaah wewenang dan tugas DPR yang begitu luar biasa, mengingat memang secara konstutusional yang merupakan representasi dari rakyat. Oleh karena itu sudah sepatutnya DPR harus murni memperjuangkan aspirasi rakyat diparlemen dan bebas dari pengaruh-pengaruh luar termasuk partai politik. Namun apabila kita melihat kenyataan yang terjadi, sama halnya dengan anggota MPR pengaruh partai partai politik diparlemen tidak bisa lepas dari bayang-bayang partai politik pengusungnya pada saat pemilihan umum.
Karena memang dalam UU No 16 tahun 2014 tentang MD3 terkait Susunan dan Kedudukan DPR pada Pasal 67 menyatakan: “DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.” Selain itu, dalam susunan di DPR maka setiap anggota diawajibkan untuk masuk kedalam salah satu fraksi partai politik. Tidak hanya itu pemberhentian antar waktu atau secara teori disebut dengan Recall16 sama halnya dengan Anggota MPR partai politik salah satu yang dapat memberhentikan kadernya di DPR. Oleh karena itu pengaruh partai politik di DPR masih sangat kuat, sehingga sangat diharapkan pengaruh itu dimanfaatkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan justru sebaliknya.
3. Presiden Republik Indonesia
Dalam UUD tahun 1945 menegaskan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: (1)“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” (2) “Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.”
Peran dan pengaruh partai politik pada bagian eksekutif  terlihat sebagaimana dalam UUD tahun 1945 pada Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan secara tegas: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Oleh karena itu lagi dan lagi peran serta pengaruh partai politik tidak bisa dihindari karena memang dijamin secara konstitusional dalam UUD tahun 1945.
4. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI)
UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan. Penjelasan ini mengenai kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan Indonesia. Pengaruh partai politik untuk presiden berawal dari proses pencalonan dalam pemilihan umum, yang diusung oleh partai politik peserta pemilihan umum.
peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkunagn peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Lebih lanjut menurut UUD tahun 1945 pasal 24A ayat (1) yang menyatakan:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tigkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Untuk melihat pengaruh partai politik walaupun tidak secara langsung, itu dapat kita lihat dalam UUD tahun 1945 pada Pasal 24A Ayat (3) yang menyatakan: “Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Dalam proses pengangkatan hakim agung harus berdasarkan persetujuan DPR. Anggota DPR merupakan juga berasal dari kader partai politik sehingga dalam persetujuan tersebut tetaplah partai politik memiliki peran. Namun peran maupun pengaruh tersebut tentu sangat diharapkan dapat membawah untuk kemanfaatan rakyat yang sebesar-besarnya.
5. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI)
UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkunagn peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”  UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) membahas mengenai status kedudukan MA, dan UUD tahun 1945 pasal 24A ayat (1) membahas mengenai wewenang MA dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
C.     Apa landasan Studi Banding yang dianggap tidak ada manfaatnya, namun tetap menjadi prioritas para anggota dewan
Anggota dewan sebagai julukan yang diberikan masyarakat terhadap mereka para anggota  legislatif, yang berperan penting untuk kepentingan masyarakat. Merekalah yang memiliki wewenang untuk mendengar dan menciptakan solusi dengan besarnya skala problema yang ada dilingkungan masyarakat. Dalam tingkatannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbagi atas beberapa tingkatan, yang terbagi atas pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pada dasarnya tugas dan fungsi mereka sama, hanya saja situasi dan kondisi yang mereka hadapi itu berbeda.
Nah, dalam menanggapi permasalahan hobbi para senator yang suka mengajukan penyelenggaraan kegiatan studi banding ke luar negeri yang tentunya dengan biaya yang sangat menakjubkan. Apa yang melandasi hal ini? Rasionalkah? apa dampak yang diperoleh dari kegiatan studi banding tersebut?. Inilah pertanyaan yang kerap kali muncul dalam memprotes hobby para senator yang suka jalan-jalan dengan uang rakyat dengan modus studi banding.
Aceh misalnya, akhir-akhir ini rakyat aceh dipenuhi dengan berita yang membuat mereka kesal dan tidak terima dengan tingkah para anggota dewan perwakilan rakyat aceh yang akan studi bending ke 5 benua. Hal ini memicu banyak nya netizen yang berkomentar pedas terhadap Anggota DPRA, seperti yang penulis kutip disalah-satu media online, disampaikan oleh berinisial T.A (Pengamat dan penulis S2 bidang teologi dan filsafat) mengatakan bahwa “secara esensial dan substansial semua nya adalah akal bual-bualan alias bulshit belaka. Karena memang bukan kunjungan kerja yang dia lakukan malah sebaliknya, jalan-jalan, shopping, dan menghamburkan uang rakyat.” Beliau berani berbicara demikian, karena dalam peragraf selanjutnya menerangkan bahwa komentar dia adalah sesuatu yang fakta, karena mereka (Mahasiswa yang ada diluar negeri) sering mendapatkan undangan dari kedubes Indonesia di luar negeri untuk bersilaturahmi dengan para anggota dewan, dan tentunya para mahasiswa dengan kritis bisa memantau apa yang dilakukan para anggota dewan tersebut selama di luar negeri.
Menurut penulis sendiri, bukan tida boleh melakukan kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri, selama itu menjadi kebutuhan daerah dan uergent ya silahkan saja. Namun, alangkah baiknya program itu harus tepat sasaran, mendahulukan program yang bisa menciptakan perubahan, dan mengposisikan program yang dianggap pantas untuk sebagai cadangan. Jika para anggota dewan bersikeras tetap melakukan rutinitas mereka untuk kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri, maka apakah itu akan membawa perubahan secara mendasar untuk daerah, khususnya aceh? Apakah dengan demikian pembangunan bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan bidang lainnya semakin maju ?, dari pertanyaan tersebut ada beberapa contoh kecil jika kunjungan kerja tersebut memberikan perubahan yang konrit bagi daerah, yaitu bagaimana ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari hasil kunjungan kerja terebut tersosialisasikan dengan baik terhadap masyarakat, dan ilmplementasinya membuat masyarakat memperbaiki pendapatan perkapita yang meningkat sehingga hal tersebut bisa dikatakan sebagai proses perubahan dan kemajuan. Namun yang terjadi bagaiamana? Sampai sejauh ini hal tersbut masih bisa dikatan sebagai sesuatu yang nihl dan tidak akan terjadi. Jadi alangkah baiknya jika progam kunjungan kerja ini dengan nilai pengluaran yang 3 Miliyar lebih djadikan sebagai program cadangan, dan pengalokasian anggarannya kepada upaya pembangunan masyarakat, seperti halnya peminjaman modal untuk UKM (usaha kecil menengah) kepada masyarakat yang membutuhkannya, atau anggaran tersbut digunakan untuk pembanguan infrastruktur yang saat sekarang ini masih banyak kekurangan, dan hal demikian lebih memberikan hasil yang konkrit dan berguna bagi khalayak ramai.
Ternyata dalam peraturan menteri dalam negeri no 11 tahun 2011 bagaimana mekanisme dan aturan menganai program kerja pejabat pemerintah kota/kabupaten dalam hal kunjungan kerja sudah diatur jelas dalam Permen. No 11 tahun 2011 tersebut. Inilah yang melandasi program kunjungan kerja ke luar negeri akan tetap berjalan seiring waktu, dan hal ini dtetapkan dengan tempo waktu setahun sekali, walaupun banyak upaya yang mencegah program, namun apalah daya jika mengkritik tanpa mengedepankan uang, takkan berhasil mengubah pola, sistem, dan aturan jika tidak di iming-imingi uang, karena siatuasi saat sekarang ini yaitu hidup denga semboyan “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar”
Perlu diketahui, Ada 4 tahap dalam proses penetapan dan menyelenggarakan program[8], diantaranya : (1) Tahap Agenda setting, bagaimana pada tahap ini para Policy Maker melihat, menelaah , dan mendefinisikan setiap masalah yang ada, (2). Tahap Formulasi, pada tahap ini mencari dan menetapkan program sebagai upaya untuk menanggulangi setiap masalah yang ada, (3) Tahap Implementasi, pada tahap ini sebagai proses terealisasinya susunan program yang telah direncanakan, dan (4).[9] Tahap Evaluasi, sebagai analisa bagaimana baik buruknya program yang telah terealisasi.  Max weber berasumsi, bahwa pemerintah yang baik (Good Governance) ialah pemerintah yang bisa menempatkan skala prioritas, program mana yang semestinya di dahulukan, dan program mana yang seharusnya dijadikan sebagai program cadangan.
Pada akhirnya, sangat jelas bahwa pemerintahan daerah khususnya daerah aceh sebagai pemerintahan yang jauh dari syarat-syarat sebagai pemerintahan yang baik (Good Governance), karena program mengenai kunjungan kerja ke 5 benua yang akan dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat aceh sebagai bukti konkrit bahwa pemerintah yang tidak bisa menempatkan skala prioritas, program mana yang semestinya di dahulukan, dan program mana yang seharusnya dijadikan sebagai program cadangan. Dan hal ini juga berdampak buruk pada hubungan masyarakat denga pemerintahan daerah, hal ini menyebabkan terjadinya krisis legitimasi, karena masyarakat tidak lagi mempercayai wakil-wakil mereka yang berperan untuk memperjuangkan kebutuhan mereka.
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya partai politik dibentuk memiliki sebuah tujuan yang mulia dengan peranannya dapat membantu proses tujuan negara yang dicita-citakan. Oleh karena itu maka diperkuatlah kelembagaannya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, namun melihat proses penerapan untuk mencapai hakikat tujuan partai politik tersebut ternyata masih jauh dari apa yang menjadi harapan kita bersama. Pencapaian tujuan tersebut terhambat karena banyak masalah internal partai khususnya kader-kader yang tersandung korupsi, permasalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi dari partai politik itu sendiri. Oleh karena itu Efektifnya tujuan dan fungsi partai politik sangat menentukan bagaimana baik atau buruknya pengaruh yang akan di timbulkan dalam negara.
Masuknya partai politik sebagai peserta pemilihan umum dalam proses demokratisasi untuk duduk dieksekutif dan legislatif pusat maupun daerah yang secara konstitusional diatur dalam UUD 1945, memberikan ruang yang begitu besar kepada partai politik untuk membuat pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dari kader-kader partai politik inilah yang akan menjadi wakil rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting dan strategis dalam negara, sehingga keberadaan partai politik sangat-sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Kita tidak bisa menyalahkan sistem yang ada, karena pada dasarnya ide dan gagasan itu adlah sesuatu yang sangat mulia, hanya saja ketika tahap implementasinya berubah menjadi unsur poltik. Jadi tidak heran jika kontribusi anggota partai politik sangat jauh menyimpang dari tugas dan fungsi mereka yang sesuai dengan ketetapan hukum perundang-undangan dan sistem demokrasi pemeintahan indonesia. Sehingga pada akhirnya, ketimpangan dan permasahalan yang timbul dilingkungan masyarakat membuat hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan kota/daerah (krisis Legitimasi), dan hal ini mneyebabkan semakin lambat nya proses pembanguan.
B. Saran
Ø  Para pengurus partai harus terus mengevaluasi kinerja fungsi partainya beserta para kader-kadernya, mengingat besarnya pengaruh partai politik dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia. Utamanya fungsi rekrutmen partai politik dan pendidikan politik secara berkesinambungan.
Ø  Pemerintah harus pandai dalam memilah, proram mana yang harus didahulukan dan program mana yang pantas untuk sebagai cadangan.
Ø  memberikan sanksi tegas kepada partai politik yang tidak melaksanakan fungsinya secara penuh sesuai tuntutan undang-undang partai politik, dengan melihat laporan kinerja partai politik. Hal tersebut untuk memberikan efek jera, sehingga partai politik terus berbenah untuk melakukan perbaikan-perbaikan demi mencapai hakikat tujuan dibentuknya partai politik itu sendiri. Selain itu harus ada kerjasama yang baik antara pengurus partai, pemerintah dan masyarakat dalam proses pelaksanaan tujuan dan fungsi partai politik itu sendiri, sehingga hal tersebut dapat mempercepat proses tujuan dibentuknya partai politik sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·         DeLeon, Peter. 1998. Advies and Consent : The Development of the policy Scince. New York: Russell Sage.
·         Almond, Gabriel A., and G. Bingham Powell, Jr. (eds). 1974 Comparative Politics Today : A world View, Boston : Little, Brown and Co. Edisi ke-2 1980. Sebuah Teks pengenalan yang topiknya berfokus pada sosialisasi budaya politik, partisipasi dan rekruitmen politik, kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan penyusunan kebijakan di institusi-institusi dan badan-badan pemerintah.
·         Anderson, Charles, 1971 “Comporative Policy Analysis” Comporative Politics IV (Oktober), 117-132. Berfokus pada masalah-masalah pilihan publik, analisys pemerintahan dikaitkan dengan perbandingan politik
·         Albinski, Henry S., dan Lawrence K. Pettit (eds) 1974 European Political Processes, Essay dan reading: Allyn and Bacon. Esai-esai asli tentang empat negara besar eropa dengan perhatian kepada sistem-sistem nilai, kepentingan-kepentingan kelompok, pemilihan umum, partai-partai dan kaum elitnya, proses politik, dan administrasinya
·         Andrew, William G 1962, European Political Institutions : A Comporative Government Reader Princeton, New Jersey : D. Van Nostrand Co. Dokumen-dokumen menyangkut empat sistem utama eropa dengan perhatian kepada partai-partai politik, lembaga legislatife, dan lembaga eksekutife
·         Alfian, Dr. 1991. Komunikasi Politik dan sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Granmedia Pustaka Utama
·         Budiarjo. Miriam. Prof. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
·         Djajasumarga, kasum, Prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan nasional, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit IKIP Semarang Press, 1992)
·         Nugraha, Safri. et al, Hukum Administrasi Negara, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007)
·         Siagian, Sondang P, Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi, dan strateginya), cet. Ketiga (Jakarta:Penerbit PT Bumi Aksara, 2003)



[1] Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[2] Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukm Tata Negara. (Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA, 2013). hlm. 414
[3] Hafied Cangara, komunikasi politik : Partai Politik dan pemilu. Ed-1-2, (jakarta:Rajawali pers) hal 207
[4] Lihat pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[5] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustak utama,1992). hlm.163-164
[6] Lihat di Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang partai Politik
[7] Sigit Pamungkas, Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia), (Sleman, Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai,2011). Hlm,35
[8] Charles Lindblom (1986).Proses Penetapan Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Penerjemah Ardian Syamsudin. Jakarta:Airlangga, hlm 3
[9] Budi Winarno. Kebijakan publik (Tahap-tahap kebijakan). Cet-1. Yogyakarta . hal 36-37

Wednesday, July 27, 2016

Analisa Terhadap Situasi Pembangunan Indonesia Dalam” Persefektif Teori Strukturalisme''



“Analisa Terhadap Situasi Pembangunan Indonesia Dalam” Persefektif Teori Strukturalisme
Dalam penulisan ini, melihat situasi pembangunan indonesia tentunya dilihat dari berbagai aspek yang memiliki pembahsan yang cukup banyak, sehingga dengan pembahasan berbagai-macam aspek tersebut kita bisa menyimpulkan bagaimana situasi pembangunan indonesia itu sendiri, dan tentunya hal itu berhubungan dengan bagaimana sistem pemerintahan dan idiologi negara. Oleh karenanya, ada beberapa aspek pembahasan yang akan dibahas dalam pembahasan ini. Diantaranya yaitu melihat situasi pembangunan indonesia Dari sudut pandang pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur, hutang, kesenjangan social dan  modernisasi Serta dari sudut pandang berbagai teori pembangunan baik teori modernisasi, depedensi, liberalisme, dan teori pembangunan berkelanjutan
Indonesia saat ini,  jika kita mengikuti berita pertumbuhan ekonomi dan pembangunan diindonesia yang mungkin sangat banyak dan mudah sekali kita temukan baik itu media, media cetak, radio, dan juga televisi. Ada beberapa indicator dalam pembahasan kali ini, melihat situasi pembangunan Indonesia berdasarkan pembangunan ekonomi misalnya berdasarkan study yang penulis dapatkan yaitu siklus perekonomian pada tahun 2015 lalu perekonomian Indonesia di tingkat sektor riil, baik itu usaha kecil, menengah, maupun besar, mengalami kelesuan yang luar biasa. Beberapa perusahaan besar seperti Astra International (ASII), Perusahaan Gas Negara, Gudang Garam (GGRM), Semen Indonesia (SMGR), hingga Jasa Marga (JSMR), semuanya mencatat penurunan laba bersih pada Kuartal I 2015. Sementara di bidang usaha yang lebih kecil, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Lalu timbul lah pertanyaan, bagaimana proyeksi kondisi ekonomi ke depannya? Apakah akan ada perbaikan atau tidak dalam jangka waktu dekat?  Jawabannya adalah, sebenarnya akar penyebab pemerosotan bisnis ini sudah jelas. Maka perekonomian nasional akan bisa membaik jika, dan hanya jika, pemerintah bersedia mengubah atau melonggarkan kebijakannya terkait subsidi dan pajak. Selain itu pemerintah juga perlu segera merealisasikan pembangunan infrastuktur yang pastinya akan kembali menggerakkan roda perekonomia
            Berbicara mengenai situasi pembangunan Indonesia berdasarkan pembangunan infrastruktur, kita sama memahami bahwa Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk  mempercepat proses pembangunan nasional. Infrastruktur juga memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat pisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energy. Namun yang terjadi di Indonesia saat sekarang ini, Sebagai contoh di Jakarta sebagai Ibu Kota dan juga pusat perekonomian di Indonesia, Jakarta dari dahulu memiliki banyak sekali permasalahan dengan pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh yang bisa kita alami seperti : kondisi jalan, sistem irigasi, transportasi, maupun dalam merawat fasilitas infrastruktur yang lainnya. Sepertinya pemerintah di Indonesia hanya setengah hati dalam membangun infrastruktur di Ibu Kota ini, dari pemerintah daerah maupun pusat tidak ada sistem kerja sama dan komunikasi yang efektif, efisien, serta komitmen. Karena beberapa proyek yang direncanakan pemerintah daerah saat ini seperti tersendat, lihat saja kondisi jalan dan sistem irigasi air di Jakarta sangat mengecewakan jika diukur dari jumlah besarnya pajak yang di dapat pemerintah dari rakyatnya
Merujuk ke permasalahan hutang, melihat keterkaitan antara pembangunan di Indonesia berdasarkan hutang yang mungkin ini adalah salahsatu pembahasan yang sangat penting untuk diketahui bahwa sebenarnya Indonesia terhambat dalam proses pembangunan disebabkan banyak nya hutang luar negeri, kenapa demikian ? jika kita review kembali pada tahun 1997. Seluruh bangunan ekonomi runtuh, perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran meledak, kemisikinan meningkat, sementara beban hutang luar negeri semakin berat. Total hutang luar negeri sampai dengan Desember 1998 mencapai US$ 144, 021 milyar, terdiri atas hutang swasta US$ 83, 572 milyar (58,03%). Dengan total penduduk 202 juta jiwa, beban hutang perkapita mencapai US$ 703 pertahun. Artinya setiap bayi Indonesia yang lahir saat itu sudah memikul beban hutang sebesar US$ 303 atau sekitar Rp. 2.400.000,00 pertahun. Dalam laporan diskusi di harian Kompas, diperkirakan Indonesia baru akan dapat membayar lunas hutangnya setelah 50 tahun. Dengan asumsi jumlah total hutang luar negeri Indonesia pemerintah dan swasta sebesar US$ 140 milyar, untuk melunasinya, rakyat Indonesia harus bekerja 24 jam sehari dengan upah Rp. 10.000,00 selama 50 tahun. Sehingga pada akhirnya alokasi dan pembangunan infrastruktur maupun pembangunan material lainnya terhambat karena untuk pembayaran hutang.
Berbicara mengenai Kesenjangan social,  adalah suatu keadaan ketidak seimbangan sosial yang ada di masyarakat yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. Dalam hal kesenjangan sosial sangatlah mencolok dari berbagai aspek misalnya dalam aspek keadilanpun bisa terjadi. Antara orang kaya dan miskin sangatlah dibedaan dalam aspek apapun, orang desa yang merantau dikotapun ikut terkena dampak dari hal ini,memang benar kalau dikatakan bahwa “ Yang kaya makin kaya,yang miskin makin miskin”. Adanya ketidak pedulian terhadap sesama ini dikarenakan adanya kesenjangna yang terlalu mencolok antara yang “kaya” dan yang “miskin”. Banyak orang kaya yang memandang rendah kepada golongan bawah,apalagi jika ia miskin dan juga kotor, jangankan menolong, sekedar melihat pun mereka enggan. Lalu apa dampak nya ? hal ini menandakan pemerintah gagal dalam menjalankan amanah nya, cita-cita untuk mencapai kesejahteraan tidak lah tercapai, karena yang dinamakan Good governance adalah pemerintah yang bisa menjamin pemerataan hak dan pendapatan bagi setiap individu/warga masyarakat nya.
A.    Indikator Pembahasan
·       Pembangunan Indonesia dalam Persfektif Strukturalisme
·       Melihat pembangunan dari Sudut Pandang Teori Modernisasi
·       Melihat Pembangunan Dari sudut Pandang Teori Depedensi
·       Melihat Pembangunan Dari Sudut Pandang Teori Sistem Dunia



Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Saat ini bangsa Indonesia sedang menggalakkan pembangunan dan modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Pembangunan dan modernisasi pada dasarnya diarahkan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang ada sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari tersedianya berbagai macam fasilitas hidup, sarana dan prasarana yang baik sehingga mendukung berbagai sektor kehidupan masyarakat, meningkatkan taraf hidup serta meningkatkan martabat bangsa. Modernisasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia mencakup bidang Teknologi, Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, Komunikasi, Informasi, dan Transportasi, Komunikasi, Informasi, dan Transportasi, dan Keagamaan.
Pembangunan secara umum diartikan sebagai suatu usaha untuk memajukan, mensejahterakan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan seringkali diarahkan pada pertumbuhan di bidang ekonomi atau kemajuan material. Namun pada kenyataannya, pembangunan di bidang ekonomi saja belum cukup untuk memajukan kualitas hidup masyarakat, karena malah menimbulkan berbagai permasalahan seperti kemiskinan akibat kesenjangan atau ketidakmerataan distribusi sumber, kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam, dan lain-lain. Masyarakat harus mampu mengelola sumber dayanya secara mandiri, sehingga pembangunan di bidang sosial pun perlu dilaksanakan.
Dari penjelasan masing-masing teori pembangunan tersebut, teori modernisasi tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan konsep pembangunan masyarakat dengan teori modernisasi ini kurang mendasar pada masyarakat Indonesia. Modernisasi identik dengan pertumbuhan ekonomi, dan melupakan budaya yang membangun kehidupan masyarakat. Masyarakat menerima berbagai perubahan di dalam kehidupannya sebagai akibat dari modernisasi, seperti gaya hidup, fasilitas-fasilitas modern seperti mall, diskotik, cafe, dan lain sebagainya. Sementara di tengah-tengah perubahan yang terjadi, masyarakat belum mampu untuk meninggalkan bentuk-bentuk tradisi lamanya. Akibatnya, timbul ketimpangan sosial dalam masyarakat tersebut.
Menurut teori modernisasi, masyarakat Indonesia pada umumnya belum siap untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh. Proses pembangunan terhambat oleh nilai-nilai budaya dan mentalitas masyarakat Indonesia, seperti nilai budaya yang tidak mementingkan mutu atau prestasi, tidak mampu meninggalkan otoritas tradisinya, menganggap hidup selaras dengan alam sehingga timbul konsep tentang nasib, tidak disiplin, kurang bertanggungjawab, tidak berani menanggung resiko, dan lain-lain. Inilah sebabnya negara Indonesia sebagai negara dunia ketiga mengalami keterbelakangan. Di sini terlihat jelas bahwa teori modernisasi ini tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia, karena dalam teori modernisasi ada beberapa tahap yang harus di capai, diantaranya : (1) Masyarakat tradisional: tahapan ini ditandai dengan kegiatan bertani dan barter, (2) Persiapan untuk tinggal landas: tahapan ini ditandai dengan adanya spesialisasi, produksi barang dan perdagangan.Selain itu, infrastruktur transportasi dikembangkan untuk mendukung perdagangan, tahapan ini pada akhirnya mendorong adanya investasi, (3) Tinggal landas: pada tahapan ini terjadi peningkatan industrialisasi dan ekonomi beralih dari pertanian ke manufaktur, (4) Menuju kematangan: pada tahap ini terjadi diversifikasi ekonomi ke daerah baru dan sedikit ketergantungan pada impor, (5) Konsumsi massa: pada tahap ini ekonomi menuju konsumsi massa dan pelayanan di sektor jasa semakin mendominasi.[1]
Teori selanjutnya adalah teori dependensi atau ketergantungan. Jika dikaitkan dengan teori ini, pembangunan di Indonesia bisa saja, yaitu dengan menggantungkan pembiayaannya dari batuan luar negeri, dinama negara pemberi bantuan tersebut dinamakan negara pusat, sebagai modal asing. Pemberian modal asing ini merupakan sesuatu yang diharuskan bagi negara pusat untuk membantu kemajuan Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, pemberian bantuan tersebut tidak sejalan dengan tujuan awal yang telah disepakati oleh negara-negara pusat. Pemberian modal asing ini dijadikan sebagai jalan bagi negara-negara maju untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besar dari negara yang mendapat bantuan, seperti Indonesia. Dampak dari konsekuensi dari pemberian bantuan, berupa eksploitasi sumberdaya alam dan pengambilan keuntungan lainnya dari proses pembangunan, menjadikan Indonesia secara perlahan semakin terpuruk kedalam jurang kemiskinan, dikarenakan utang yang membebani semakin banyak.  Kekayaan alam yang melimpah di tanah air Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, dikarenakan posisi lemah sebagai negara yang memiliki hutang pada negara-negara maju. PT. Freeport di Papua, sebagai contoh, telah megeksploitasi hampir seluruh sumberdaya mineral berharga yang terdeposit di Papua untuk kepentingan negaranya. Ini contoh kerugian besar bagi bangsa Indonesia, akibat dependensi terhadap bantuan luar negeri. Di sini terlihat jelas pula, bahwa teori dependensi ini tidak menguntungkan Indonesia.[2]
Teori yang terakhir adalah teori sistem dunia. Dalam teori ini negara di dunia dibagi atas tiga bentuk negara, yaitu: negara sentral, negara semi pinggiran dan negara pinggiran. Teori ini mengasumsikan hubungan harmonis secara ekonomi yang terjadi di antara negara-negara yang terlibat, yang memberikan kesempatan kepada dua kelompok negara, yaitu semi pinggiran dan pinggiran untuk dapat merubah statusnya menjadi negara sentral yang mapan secara ekonomi. Dalam kajiannya Wahyu Ishardino S, disampaikan bahwa perubahan status negara pinggiran menuju semi pinggian ditentukan oleh keberhasilan negara-negara tersebut melaksanakan strategi menangkap dan memanfaatkan peluang, dan strategi lainnya dalam proses pembangunannya. Sementara itu, upaya yang harus dilakukan oleh negara semi pinggiran untuk dapat menuju negara sentral, adalah memperluas pasar dengan memperkenalkan teknologi modern, dan mampu mempersaingkan produknya dari segi harga dan kualitas.[3]
Indonesia termasuk dalam kategori mana? Secara umum, Indonesia masih berada dalam kategori negara pinggiran. Karena dari segi kegiatan produksi, hampir 90% bahan bakunya bergantung pada import. Dengan demikian, kemampuan untuk berperang dari segi harga dan kualitas dengan produk luar negeri masih sangat rendah. Pertumbuhan jumlah dan jenis industri yang ada di Indonesia tidak sejalan dengan pertumbuhan kesejahteraan nasional, namun yang terjadi malah sebalilknya. Sektor industri yang tumbuh di Indonesia didominasi oleh perusahaan asing yang mengoperasikan produksinya di Indonesia, dikarenakan ketersediaan bahan dasar (raw materials) yang siap diolah menjadi bahan baku oleh perusahaan mereka sendiri dan rendahnya upah tenga kerja lokal.
Indonesia belum mampu secara mandiri mengolah sumberdaya alamnya menjadi produk antara (intermediate products) dan bahkan produk barang jadi. Konsekuensinya, hampir semua kegiatan produksi masih bergantung pada supply produk luar negeri.
Solusi yang ditawarkan adalah, melihat kondisi yang ada maka dengan teori sistem dunia sebagai jalan untuk menunjukan bahwa Indonesia masih punya harapan untuk mendapatkan peluang lebih baik, yaitu mandiri di sektor bahan baku industri dan tidak hanya bertindak sebagai pasar bagi bertubi-tubinya produk asing datang ke dalam negeri ini. Dengan memperkuat kemampuan pengolahan sumberdaya alam yang ada, melaksanakan regulasi yang kondusif bagi usaha dalam negeri, maka peluang Indonesia dari yang berkategori negara pinggiran dapat bangkit menjadi negara semi pinggiran bahkan menjadi negara sentral yang maju dan berdaulat secara ekonomi.
Pada dasarnya sistem dan idiologi itu sesuatu hal yang benar. Hanya saja dalam tahap implementasi dan terealisasinya suatu program atau kebijakan terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Semua itu tidak terlepas dari pantologi (penyakit birokrasi) yang sudah merajalela di indonesia ini.
Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita-citakan, dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat (Djojonegoro,1996: 7).
Administrasi pembangunan merupakan bagian administrasi negara yang berkaitan dengan proses adminstrasi dari suatu program pembangunan, dengan metode yang digunakan terutama oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatannya yang telah direncanakan guna menemukan sasaran pembangunan. Pembangunan nasional memiliki dua dimensi, yaitu dimensi inti dan kerangka pokok serta Dimensi majemuk dan kompleks. Didalam pembangunan nasional terdapat kebijaksanaan berupa Kebijaksanaan sektoral dan partial serta kebijaksanaan terpadu. Pembangunan nasional merupakan salah satu perencanaan pemerintah yang berkaitan erat dengan kebijakan dan strategi pembangunan nasional yang menyangkut pemilihan alternatif tindakan yang dipilih pemerintah untuk mencapai tujuannya dan berpengaruh terhadap berbagai bidang kehidupan (multidimensional, mencakup berbagai bidang yaitu politik, ekonomi,sosial budaya,pertahanan dan keamanan).[4] Fungsi pemerintah berkaitan erat dengan kedudukan negara terhadap warganya, dan peran pemerintah dalam pembangunan nasional adalah selaku stabilisator, modernisator, inovator, pelopor, dan pelaksana sendiri.
Berdasarkan tupoksi dari admnistrasi pembangunan tersebut sangat jelas tercantum pada Ruang lingkup atau cakupan administrasi publik yang sangat kompleks.  Namun tergantung perkembangan kebutuhan dan dinamika masalah yang dihadapi masyarakat. Dikatakan Chandler dan Plano (1988:3) bahwa kehidupan manusia menjadi semakin kompleks maka apa yang akan dikerjakan oleh pemerintahan atau administrasi publik juga semakin kompleks. Untuk mengetahui ruang lingkup administrasi publik maka bisa dikaji dari tulisan-tulisan teoritisi dan praktisi administrasi publik yang populer dan dapat dijadikan dasar.
Seperti yang telah diketahui, dalam proses pembangunan tidak lepas dari iringan beberapa indicator yang tercantum dalam 5 peran pemerintah untuk pembangunan, antara lain :
1.     Peran sebagai stabilitator, yaitu pemerintah harus mampu menciptakan adanya keadaan politik sosial dan ekonomi yang stabil dan mantap. Di bidang politik misalnya, pemerintah terus berupaya mengamalkan, mengamankan, dan mempertahankan ideology Negara Pancasila dari segala macam upaya untuk merusak nilai pancasila itu sendiri, baik dalam maupun luar negeri.[5] Di bidang sosial, pemerintah berupaya menanamkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah menjadi milik bangsa Indonesia sejak lama, agar masyarakat tidak terpengaruh nilai-nilai lain yg negative.[6] Di bidang ekonomi, pemerintah berupaya membangun berbagai macam sector ekonomi secara merata di seluruh daerah guna meningkatkan pendapatan rakyat.
2.     Peran sebagai Inovator, Pemerintah dalam pembangunan memiliki peran salah satunya selaku inovator. Ditinjau dari segi administrasi pembangunan, inovasi berarti temuan baru, metode baru, sistem baru, dan yang terpenting adalah cara berpikir baru. Dengan demikian selaku inovator, pemerintah sebagai keseluruhan harus menjadi sumber dari hal-hal baru tersebut (teman, metode, sistem, cara berpikir). Kemampuan sebagai Inovator Pembangunan. adalah kemampuan menterjemahkan program pembangunan daerah dengan bahasan yang sederhana serta menggugah keinginan dan keikutsertaan masyarakat dalam bidang pembangunan.
3.     Peran sebagai Modernisator, Pemerintah bertugas untuk menggiring masyarakat kearah kehidupan modern, yaitu kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan dan kemahiran menejerial, kemampuan mengolah kekayaan alam, memiliki sistem pendidikan nasional yang andal sehingga mampu menghasilkan SDM yang produktif, memiliki landasan kehidupan polotik yang kukuh dan demokratis, memiliki visi yang jelas tentang masa depan, rakyat mampu mengambil keputusan yang rasional tentang nasibnya, bersedia mengambil resiko dan orientasi masa depan, serta bersedia menerima perubahan.
4.     Peran sebagai Pelopor, Pemerintah harus menjadi panutan (role model) bagi seluruh masyarakat, baik buruknya perilaku yang dipraktikkan oleh orang-orang yang berada dilembaga pemerintahan juga memberikan pengaruh besar terhadap psikologi masyarakat yang melihat dan memahaminya. Karena ketika pemerintah mengeluarkan statement akan sesuatu (dilarang korupsi) tetapi mereka (orang-orang parlemen) yang melakukan hal tersebut. Sehingga pada akhirnya timbullah rasa ketidakpercayaan anatara masyarakat dengan pemerintahan.
5.     Peran sebagai Pelaksana sendiri, Meskipun benar bahwa pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan merupakan tanggung jawab nasional dan bukan menjadi beban pemerintah semata, karena berbagai pertimbangan, seperti keselamatan negara, modal yang terbatas, kemampuan yang masih belum memadai.
Dari penjelasan diatas timbul lah pertanyaan, bagaimana implementasi dari kelima peran pemerintah tersebut di Indonesia ? Sebagai pengamat yang kritis jika kita menanggapinya dengan simple saja kita bisa mendapatkan jawabannya, tentunya tidak terlepas dari adanya sisi baik dan buruk. Banyak sekali study kasus yang bisa kita telaah dan menjadi acuan untuk menemukan jawaban dari setiap pertanyaan dalam pembangunan Indonesia ini. Misal, Penyanyi dangdut Zaskia Gotik Saat itu ia menyebut lambang sila kelima Pancasila adalah 'bebek nungging'. Padahal, lambang sila kelima  padi dan kapas yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kan sudah jelas dalam peran pemerintah sebagai stabilitator dibidang politik yang harus bisa mempertahankan ideology dan nilai-nilai pancasila, lalu apa yang terjadi jika idiologi Negara sendiri di jadikan sebagai bahan mainan ? ternyata pada akhirnya bukan diberikan hukuman, Zaskia Gotik dijadikan sebagai Duta Pancasila. Yang kedua peran pemerintahan sebagai inovator yang memberikan ide-ide dan gagasan baru kepada masyarakat untuk sebuah gerakan menuju proses modernisasi, namun di Indonesia apa yang terjadi ? bukan nilai positive yang terdapat, melainkan maraknya Kasus pencabulan yang terjadi dimana-mana, kita juga tidak bisa menyalahkan satu pihak saja yaitu masyarakat awam. Tetapi lihat lah para actor innovator kita (lembaga pemerintahan) apa yang dilakukan mereka ketika sidang paripurna ? Banyak anggota dewan yang tidur dan menonton film porno. Tidak hanya itu, bahkan banyak diantaranya pejabat-pejabat Negara yang terlibat kasus prostitusi, nikah-ceraikan istri, kekerasan rumah tangga dan itu menjadi Hot News di media sehingga terpublikasi secara merata diseluruh penjuru daerah, akibatnya apa ? Maka masyarakat juga akan melakukan hal yang demikian. Karena walapun banyak ide-ide yang cemerlang dari beberapa pihak untuk hal yang positive namun kontruksi yang konkrit lebih disukai banyak orang untuk ditiru (Masyarakt meniru berdasarkan praktik). Melihat peran pemerintah sebagai modernisator yang menggiring masyarakat ke modernisasi, salahsatunya adalah dibidang ilmu pengetahuan, dan lucunya dinegeri ini (Indonesia) yang sangat pantas ditetapkan sebagai Negara yang “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar” dan “Orang Pintar tak Perlu di bayar dan dihargai” kenapa demikian ? sangat jelas, ketika anak – anak Indonesia yang  sudah mampu menciptakan Mini Car yang bertujuan untuk mengatasi kemacetan diindonesia, namun produk anak bangsa semacam diboikot oleh pemerintah dengan alasan hal itu tidak kondusif dan melihat jika nanti semakin banyak orang yang membeli mobil mini dengan harga murah ini maka semakin meningkat pula kemacetan diberbagai daerah. Namun apa yang terjadi ? tiba-tiba Mini car seperti Alya (Toyota), Agya, Picanto, dan mobil mini lainnya bermunculan. Bahkan salah satu Perakit sayab pesawat terbaik didunia ada di Indonesia yaitu Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie yang samasekali tidak ada upaya pemerintah dalam memanfaatkan SDM yang sudah ada dengan alasan tidak sanggup membayar gaji. Apakah ini rasional ? sungguh sangat disayangkan produk bangsa sendiri diboikot karena adanya persenan (Kong kali Kong) dari perusahaan luar yang ingin berkontribusi di Indonesia. Pemerintah sebagai pelopor atau sebagai panutan masyarakat, baik buruknya dari apayang di[raktikkan oleh actor pemerintahan ini sangat mempengaruhi pola fikir masyarakat, terlebih lagi masyarakat awam. Nah, ketika actor pemerintahan mengeluarkan statement yang mengatakan “Korupsi itu haram” tapi apa yang terjadi ? mari flashback kembali kasus korupsi dana Al-Qur’an yang dilalkukan oleh Menteri Agama (Suryadharma) yang mengatakan mereka itu adalah orang islam namun berkelakuan seperti itu. Ranah pemerintahan tidak lepas dari maraknya kasus korupsi dan keburukan pemerintahan disimak dan diamati oleh publik, jadi tidak heran birokrat-birokrat di Indonesia saat ini korupsi semua, prinsip mereka uang dulu baru kerja setelah kerja dengan hasila yang gak maksimal tapi mintak uang lagi, contohnya jabatan yang paling kecil yang dulu tidak diminati sedkit pun oleh orang-orang tapi sekarang orang berlomba-lomba mndapatkan jabatan itu, yaitu Keuchik/kepala desa. Karena apa? Karena besarnya anggaran desa sehingga orang-orang berlomba jadi kepala desa bukan untuk sesuatu manfaat yang baik namun untuk menikmati anggaran desa tersebut. Dan yang terakhir yaitu peran pemerintah sebagai pelaksana sendiri, dengan maksud pemerintah sebagai pelaksana  pembangunan yang secara konstitusional harus dilakukan oleh pemerintah bukan pihak swasta. karena tidak diminati oleh masyarakat dan karena secara konstitusional memang merupakan tugas pemerintah, Misal : bagaimana mungkin jika APBN/APBA/APBK bukan diatur oleh Negara melainkan perusahaan/isntansi swasta, apakah rasional ? karena dalam tugas Negara sudah sangat jelas tufoksi nya yaitu untuk mencapai kesejahteraan (Berdasarkan pancasila), bukan perusahaan swasta yang tujuan nya (Para pemilik modal) untuk meraih keuntungan dari sumber daya yang di kuras. Namun inilah Indonesia, pembangunan akan maksimal jika ada bantuan dari perusahaan swasta ? tapi kan Indonesia ada anggaran khusus? Iya betul, tapi banyak nya uang anggaran tidak cukup untuk terealisasinya program pemerintah, karena sudah dulu terealisasi untuk memperindah dompet dan rekening actor yang berperan.
Pada akhirnya, dari berbagai macam aspek pemamparan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan diindonesia saat sekarang ini sungguh sangat disayangkan, nilai-nilai kehancuran lebih mewarnai dari pada nilai-nilai kemajuan. Sebagai akademisi, saran terhadap pemerintahan yaitu cukup focus pada 5 peran pemerintah untuk pembangunan (stabilisator, modernisator, inovator, pelopor, dan pelaksana sendiri), jika ini sudah bisa diperbaiki maka tidak jauh kemungkinan indonesia akan berada pada puncaknya, dimana orang-orang (negara lain) merasa minder dengan keberhasilan yang diraih oleh indonesia.



Daftar Pustaka
·       Djajasumarga, kasum, Prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan nasional, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit IKIP Semarang Press, 1992)
·       Nugraha, Safri. et al, Hukum Administrasi Negara, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007)
·       Siagian, Sondang P, Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi, dan strateginya), cet. Ketiga (Jakarta:Penerbit PT Bumi Aksara, 2003)
·       Sumarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan (Edisi kesepuluh). Jakarta
·       Sugandhy, Aca dan Hakim, Rustam. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. p. 22




[1]  Suwarsono, Alvin Y. So (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia: Teori-teori Modernisasi, Dependensi dan Sistem Dunia. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. p. 95-204.
[2] Dr. Murodi, MA & Wati Nilamsari, M.Si. Buku Ajar Sosiologi Pembangunan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, 2007. hal 11,
[3] Suwarsono, Alvin Y. So (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia: Teori-teori Modernisasi, Dependensi dan Sistem Dunia. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. p. 95-204.
[4] Nugraha, Safri. et al, Hukum Administrasi Negara, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007) hal. 376
[5] Siagian, Sondang P, Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi, dan strateginya), cet. Ketiga (Jakarta:Penerbit PT Bumi Aksara, 2003) hal.143
[6] Siagian, Sondang P, Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi, dan strateginya), cet. Ketiga (Jakarta:Penerbit PT Bumi Aksara, 2003) hal.101