Tuesday, August 2, 2016

KRISIS LEGITIMASI DAN EKSISTENSI PARTAI POLITIK


KRISIS LEGITIMASI DAN EKSISTENSI PARTAI POLITIK
(
Menyikapi kegemaran Anggota Dewan Aceh Yang Suka Studi Banding ke Luar Negeri)
Oleh : Khairul ahmadi/140801008/Ilmu Politik
ABSTRAK
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham demokrasi dan juga sebagai nagara hukum, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam konstitusinya UUD 1945. sebagai negara demokrasi maka kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan, wujud dari sebuah implementasi demokrasi dapat dilhat dalam proses pemilihan Umumu atau biasa disingkat dengan PEMILU. Pemilihan Umum ini digunakan untuk memilih wakil rakyat baik untuk duduk dieksekutif maupun legislatif baik ditingkat pusat maupun daerah. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian deskriptif, pendekatan normatif yang terfokus pada penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, sinkronasi vertical dan horizontal dari peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum dan sejarah hukum serta ditambah dengan data empiris. kemudian dikelompokkan ke dalam bahan penelitian, urgensi dan relevansi dalam objek penelitian, kemudian diolah, diklasifikasikan secara sistematis, logis, dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai objek penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif yuridis. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pada hakikatnya partai politik dibentuk memiliki sebuah tujuan yang mulia dengan peranannya dapat membantu proses tujuan negara yang dicita-citakan. oleh karena itu maka diperkuatlah kelembagaannya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, namun melihat proses penerapan untuk mencapai hakikat tujuan partai politik tersebut ternyata masih jauh dari apa yang menjadi harapan kita bersama. Pencapaian tujuan tersebut terhambat karena banyak masalah internal partai khususnya kader-kader yang tersandung korupsi, permasalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi dari partai politik itu sendiri. Oleh karena itu Efektifnya tujuan dan fungsi partai politik sangat menentukan bagaimana baik atau buruknya pengaruh yang akan di timbulkan dalam negara. Masuknya partai politik sebagai peserta pemilihan umum dalam proses demokratisasi untuk duduk dieksekutif dan
legislatif pusat maupun daerah yang secara konstitusional diatur dalam UUD 1945, memberikan ruang yang begitu besar kepada partai politik untuk membuat pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dari kader-kader partai politik inilah yang akan menjadi wakil rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting dan strategis dalam negara, sehingga keberadaan partai politik sangat-sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
UUD 19453 Pasal 1 ayat (2) menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar, di sini jelas kita melihat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham kedaulatan rakyat atau biasa disebut dengan demokrasi. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan. UUD 1945 adalah Konstitusi negara Indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Karena memang pada hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat[1].
Masuknya Partai politik sebagai perserta pemilihan umum, memperlihatkan kepada kita bahwa dalam setiap sistem demokrasi partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti yang dikatakan oleh Schattsheider, “Political parties created democrasy.” Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the dgree of institutionaliztion) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkkable save in terms of the parties.”[2]
Partai politik adalah merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis[3]. Secara defenitif partai politik itu sendiri adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4] Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) Komunikasi Politik, (ii) Sosialisasi politik (Political socialization), (iii) Rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (Conflict management).[5] Di sini jelas memang terlihat bagaimana arti penting sebuah partai politik dalam sebuah sistem demokrasi.
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu “at the expense of the general will” atau kepentingan umum.
Sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas sangat jelas bahwa keberadaan partai politik dalam sebuah sistem demokrasi yang konstitusional memiliki peran dan pengaruh strategis didalam mempercepat tujuan negara.
Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam suatu karya ilmiah berbentuk jurnal dengan judul : “Krisis Legitimasi dan Eksistensi Partai Politik (Menyikapi Kegemaran Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Yang suka studi Banding Ke luar Negeri).”
B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang melandasi terjadinya krisis legitimasi ?
2.      Bagaimanakah efektivitas partai politik dalam sistem Hukum dan Pemerintahan Demokrasi Indonesia?
3.      Apa landasan Study Banding yang dianggap tidak ada manfaatnya, namun tetap menjadi prioritas para anggota dewan ?
C. Metode Penelitian
Data yang dihimpun dengan cara mengumpulkan bahan analisa, kemudian dikelompokkan ke dalam bahan analisa, urgensi dan relevansi dalam objek analisa, kemudian diolah, diklasifikasikan secara sistematis, logis, dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai objek penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif yuridis.
PEMBAHASAN
A. Kritis Legitimasi antara masyarakat dengan para anggota dewan
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau dalam pengertian abstraknya adalah hasutan, sehingga orang lain akan mengikuti sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang pengajak tadi, atau yang memiliki kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat. dengan kata lain suatu kekuasaan penuh akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.

a.       Defenisi Legitimasi Menurut Max Weber
Legitimasi adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan, dan bagaimana kepercayaan dan loyalitas masyarakat yang mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan, dan kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Sedangkan Tradisi Nasional, adalah seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan, keputusan, atau kebijakan yang diambil pemimpin dalam ruang lingkup tradisional.
Menurut Weber, ada 3 cara untuk memperoleh legitimasi tersebut : (1). Legitimasi tradisional, (2). Kharisma, (3). Legal/rasional.
b.      Penyebab terjadinya Krisis legitimasi
Dalam pesfektif Habermas (1975), krisis legitimasi merupakan hasil dari ketidakmampuan sistem politik untuk mencegah kontradiksi dalam sistem sosial yang ada. Namun jika kita menelaah langsung sejauh mana perkembangan situasi dan kondisi indonesia saat ini, yang tentunya tidak lepas dari hubungan/interaksi sosial antara masyarakat dengan pemilik kekuasaan.
Banyak sekali studi kasus yang membahas persoalan ini, sisi positife dan negative berpacu mendefenisikan persoalan ini. Lazimnya realita yang ada, hilang nya kpercayaan masyarakat terhadap mereka (Senator) tidak lain disebabkan karena ketidaksesuaian mengenai eksistensi dan kontribusi para anggota dewan yang selalu mengingkari janji-janji nya terhadap masyarakat. Disaat mereka (senator) sebelum menjadi anggota legislatife selalu berjanji untuk menciptakan tatanan hukum yang adil untuk mencapai kesejahteraan. Namun, nyatanya mereka hanya sekedar janji kampanye, mereka selalu mengatakan untuk mengedepankan kepentingan masyarakat, namun nyatanya mereka lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadinya, mereka selalu mengatakan akan bekerja sekuat tenaga dengan suka rela, dan nyatanya jangankan untuk urusan besar, untuk rapat saja mereka di bayar baru mau datang, bagaimana jika turun lapangan.
B. Efektivitas Partai Politik Dalam Sistem Hukum dan Pemerintahan Demokrasi Indonesia
a)      Tujuan Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pada Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) Menyatakan:
1.      Tujuan umum Partai Politik adalah:
a.      Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.  Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2.      Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a.       Mendapatkan Legitimasi, guna untuk memperlancar proses kekuasaan
b. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
c.       Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
d.      Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[6].
3.      Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional :
Pada dasarnya ide dan gagasan itu adalah suatu hal yang baik dan Tentu memiliki tujuan yang sangat mulia dengan berusaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar tahun 1945 menuju negara aman, adil, makmur dan sejahtera. Sudah jelas memang kontribusi Partai politik sebagai infrastruktur politik dapat dikatakan sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainakn peranan yang penting sebagai penghubung antara the state (pemerintahan negara) dengan the citizens (warga negaranya) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Sri Soemantri M., mengemukakan, pusat-pusat kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan suatu negara itu berada dalam 2 (dua) suasana, yaitu : (1) infra struktur politik, Partai politik merupakan salah satu pusat kekuasaan yang berada di Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya di Indonesiasupra struktur politik; (2) Suorestruktur .(Bandung: Pustaka Sutra, 2008), hlm. 12-13.
Partai politik, dalam kontribusi dan berbicara masalah eksistensi nya terhadap masyarakat merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara. Akan tetapi, dalam pandangan negatife, menyatakan bahwa partai politik tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan sekedar sebagai sarana bagi mereka untuk memuaskan birahi kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu menurut Robert Michels, partai politik seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.
Pandangan negatif (skeptis) itu kemudian muncul dengan melihat kenyataan yang terjadi saat ini, pada prakteknya dalam prosesi untuk mewujudkan tujuan partai politik tersebut yang tujuan mulianya selaras dengan cita-cita bangsa dan negara ternyata masih jauh dari apa yang menjadi harapan kita bersama. Hal tersebut dikarenakan banyaknya permasalahan yang terjadi di partai politik mulai dari sengketa internal partai politik; sengketa antarpartai politik atau antara partai politik dengan subjek hukum lainnya; pertentangan antara partai politik dengan pemerintah; dan perselisihan mengenai hasil pemilihan umum (pemilu) antara partai politik sebagai peserta pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.
4.      Fungsi Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) menyatakan:
5.      Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a.       Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.      Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c.       Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d.      Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e.       Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
6.      Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
 “Trias Politica” adalah teori yang didalamnya terdapat beberapa penjelasan mengenai besar atau tidaknya perananpartai politik Khususnya dalam lingkup (Legislatif: MPR dan DPR, Eksekutif: Presiden, dan Yudikatif: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) berikut ini:
Menurut UUD 1945 pada Bab II Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Lebih lanjut Menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada Pasal 1 angka 1 yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”[7] Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan salah satu lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara sebagai wujud dari demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Hal tersebut sudah ditegaskan dalam UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 3 yang menegaskan: “MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.” Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memiliki status sebagai lembaga negara dibentuk tentu memiliki wewenang dan tugas. Adapun wewenang dan tugas tersebut diatur dalam UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 4 dan 5.
Apabila kita menelaah pengaruh paratai politik maka jelas kita dapat menggaris bawahi pada syarat pemberhentian pada huruf d, g dan h. Dimana dalam pemberhentian sebagai Anggota MPR/DPR dapat diusulkan oleh partai politik, diberhentikan keanggotannya di partai politik dan menjadi anggota partai politik lainnya. Secara teoritis ini dikenal sebagai 14 Penjelasan Mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut UUD 1945 dan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Recall, dimana “Hak Recall” tersebut juga diberikan kepada partai politik. Apabila hal tersebut ini terjadi maka para anggota DPR di parlemen dalam menyampakan pandangan atau pendapatnya nanti akan mendapat intervensi dari partai politik dimana ia berasal. Sehingga akan cenderung yang diperjuangkan bukanlah kepentingan rakyat, tapi malah kepentingan partai politik.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Hal tersebut di tegaskan dalam pasal 68 UU No 16 tahun 2014 tentang MD3, adapun fungsi lembaga ini dibuat lebih lanjut pada Pasal 69 dan Pasal 70. Menelaah wewenang dan tugas DPR yang begitu luar biasa, mengingat memang secara konstutusional yang merupakan representasi dari rakyat. Oleh karena itu sudah sepatutnya DPR harus murni memperjuangkan aspirasi rakyat diparlemen dan bebas dari pengaruh-pengaruh luar termasuk partai politik. Namun apabila kita melihat kenyataan yang terjadi, sama halnya dengan anggota MPR pengaruh partai partai politik diparlemen tidak bisa lepas dari bayang-bayang partai politik pengusungnya pada saat pemilihan umum.
Karena memang dalam UU No 16 tahun 2014 tentang MD3 terkait Susunan dan Kedudukan DPR pada Pasal 67 menyatakan: “DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.” Selain itu, dalam susunan di DPR maka setiap anggota diawajibkan untuk masuk kedalam salah satu fraksi partai politik. Tidak hanya itu pemberhentian antar waktu atau secara teori disebut dengan Recall16 sama halnya dengan Anggota MPR partai politik salah satu yang dapat memberhentikan kadernya di DPR. Oleh karena itu pengaruh partai politik di DPR masih sangat kuat, sehingga sangat diharapkan pengaruh itu dimanfaatkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan justru sebaliknya.
3. Presiden Republik Indonesia
Dalam UUD tahun 1945 menegaskan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: (1)“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” (2) “Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.”
Peran dan pengaruh partai politik pada bagian eksekutif  terlihat sebagaimana dalam UUD tahun 1945 pada Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan secara tegas: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Oleh karena itu lagi dan lagi peran serta pengaruh partai politik tidak bisa dihindari karena memang dijamin secara konstitusional dalam UUD tahun 1945.
4. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI)
UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan. Penjelasan ini mengenai kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan Indonesia. Pengaruh partai politik untuk presiden berawal dari proses pencalonan dalam pemilihan umum, yang diusung oleh partai politik peserta pemilihan umum.
peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkunagn peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Lebih lanjut menurut UUD tahun 1945 pasal 24A ayat (1) yang menyatakan:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tigkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Untuk melihat pengaruh partai politik walaupun tidak secara langsung, itu dapat kita lihat dalam UUD tahun 1945 pada Pasal 24A Ayat (3) yang menyatakan: “Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Dalam proses pengangkatan hakim agung harus berdasarkan persetujuan DPR. Anggota DPR merupakan juga berasal dari kader partai politik sehingga dalam persetujuan tersebut tetaplah partai politik memiliki peran. Namun peran maupun pengaruh tersebut tentu sangat diharapkan dapat membawah untuk kemanfaatan rakyat yang sebesar-besarnya.
5. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI)
UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkunagn peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”  UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) membahas mengenai status kedudukan MA, dan UUD tahun 1945 pasal 24A ayat (1) membahas mengenai wewenang MA dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
C.     Apa landasan Studi Banding yang dianggap tidak ada manfaatnya, namun tetap menjadi prioritas para anggota dewan
Anggota dewan sebagai julukan yang diberikan masyarakat terhadap mereka para anggota  legislatif, yang berperan penting untuk kepentingan masyarakat. Merekalah yang memiliki wewenang untuk mendengar dan menciptakan solusi dengan besarnya skala problema yang ada dilingkungan masyarakat. Dalam tingkatannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbagi atas beberapa tingkatan, yang terbagi atas pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pada dasarnya tugas dan fungsi mereka sama, hanya saja situasi dan kondisi yang mereka hadapi itu berbeda.
Nah, dalam menanggapi permasalahan hobbi para senator yang suka mengajukan penyelenggaraan kegiatan studi banding ke luar negeri yang tentunya dengan biaya yang sangat menakjubkan. Apa yang melandasi hal ini? Rasionalkah? apa dampak yang diperoleh dari kegiatan studi banding tersebut?. Inilah pertanyaan yang kerap kali muncul dalam memprotes hobby para senator yang suka jalan-jalan dengan uang rakyat dengan modus studi banding.
Aceh misalnya, akhir-akhir ini rakyat aceh dipenuhi dengan berita yang membuat mereka kesal dan tidak terima dengan tingkah para anggota dewan perwakilan rakyat aceh yang akan studi bending ke 5 benua. Hal ini memicu banyak nya netizen yang berkomentar pedas terhadap Anggota DPRA, seperti yang penulis kutip disalah-satu media online, disampaikan oleh berinisial T.A (Pengamat dan penulis S2 bidang teologi dan filsafat) mengatakan bahwa “secara esensial dan substansial semua nya adalah akal bual-bualan alias bulshit belaka. Karena memang bukan kunjungan kerja yang dia lakukan malah sebaliknya, jalan-jalan, shopping, dan menghamburkan uang rakyat.” Beliau berani berbicara demikian, karena dalam peragraf selanjutnya menerangkan bahwa komentar dia adalah sesuatu yang fakta, karena mereka (Mahasiswa yang ada diluar negeri) sering mendapatkan undangan dari kedubes Indonesia di luar negeri untuk bersilaturahmi dengan para anggota dewan, dan tentunya para mahasiswa dengan kritis bisa memantau apa yang dilakukan para anggota dewan tersebut selama di luar negeri.
Menurut penulis sendiri, bukan tida boleh melakukan kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri, selama itu menjadi kebutuhan daerah dan uergent ya silahkan saja. Namun, alangkah baiknya program itu harus tepat sasaran, mendahulukan program yang bisa menciptakan perubahan, dan mengposisikan program yang dianggap pantas untuk sebagai cadangan. Jika para anggota dewan bersikeras tetap melakukan rutinitas mereka untuk kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri, maka apakah itu akan membawa perubahan secara mendasar untuk daerah, khususnya aceh? Apakah dengan demikian pembangunan bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan bidang lainnya semakin maju ?, dari pertanyaan tersebut ada beberapa contoh kecil jika kunjungan kerja tersebut memberikan perubahan yang konrit bagi daerah, yaitu bagaimana ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari hasil kunjungan kerja terebut tersosialisasikan dengan baik terhadap masyarakat, dan ilmplementasinya membuat masyarakat memperbaiki pendapatan perkapita yang meningkat sehingga hal tersebut bisa dikatakan sebagai proses perubahan dan kemajuan. Namun yang terjadi bagaiamana? Sampai sejauh ini hal tersbut masih bisa dikatan sebagai sesuatu yang nihl dan tidak akan terjadi. Jadi alangkah baiknya jika progam kunjungan kerja ini dengan nilai pengluaran yang 3 Miliyar lebih djadikan sebagai program cadangan, dan pengalokasian anggarannya kepada upaya pembangunan masyarakat, seperti halnya peminjaman modal untuk UKM (usaha kecil menengah) kepada masyarakat yang membutuhkannya, atau anggaran tersbut digunakan untuk pembanguan infrastruktur yang saat sekarang ini masih banyak kekurangan, dan hal demikian lebih memberikan hasil yang konkrit dan berguna bagi khalayak ramai.
Ternyata dalam peraturan menteri dalam negeri no 11 tahun 2011 bagaimana mekanisme dan aturan menganai program kerja pejabat pemerintah kota/kabupaten dalam hal kunjungan kerja sudah diatur jelas dalam Permen. No 11 tahun 2011 tersebut. Inilah yang melandasi program kunjungan kerja ke luar negeri akan tetap berjalan seiring waktu, dan hal ini dtetapkan dengan tempo waktu setahun sekali, walaupun banyak upaya yang mencegah program, namun apalah daya jika mengkritik tanpa mengedepankan uang, takkan berhasil mengubah pola, sistem, dan aturan jika tidak di iming-imingi uang, karena siatuasi saat sekarang ini yaitu hidup denga semboyan “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar”
Perlu diketahui, Ada 4 tahap dalam proses penetapan dan menyelenggarakan program[8], diantaranya : (1) Tahap Agenda setting, bagaimana pada tahap ini para Policy Maker melihat, menelaah , dan mendefinisikan setiap masalah yang ada, (2). Tahap Formulasi, pada tahap ini mencari dan menetapkan program sebagai upaya untuk menanggulangi setiap masalah yang ada, (3) Tahap Implementasi, pada tahap ini sebagai proses terealisasinya susunan program yang telah direncanakan, dan (4).[9] Tahap Evaluasi, sebagai analisa bagaimana baik buruknya program yang telah terealisasi.  Max weber berasumsi, bahwa pemerintah yang baik (Good Governance) ialah pemerintah yang bisa menempatkan skala prioritas, program mana yang semestinya di dahulukan, dan program mana yang seharusnya dijadikan sebagai program cadangan.
Pada akhirnya, sangat jelas bahwa pemerintahan daerah khususnya daerah aceh sebagai pemerintahan yang jauh dari syarat-syarat sebagai pemerintahan yang baik (Good Governance), karena program mengenai kunjungan kerja ke 5 benua yang akan dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat aceh sebagai bukti konkrit bahwa pemerintah yang tidak bisa menempatkan skala prioritas, program mana yang semestinya di dahulukan, dan program mana yang seharusnya dijadikan sebagai program cadangan. Dan hal ini juga berdampak buruk pada hubungan masyarakat denga pemerintahan daerah, hal ini menyebabkan terjadinya krisis legitimasi, karena masyarakat tidak lagi mempercayai wakil-wakil mereka yang berperan untuk memperjuangkan kebutuhan mereka.
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya partai politik dibentuk memiliki sebuah tujuan yang mulia dengan peranannya dapat membantu proses tujuan negara yang dicita-citakan. Oleh karena itu maka diperkuatlah kelembagaannya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, namun melihat proses penerapan untuk mencapai hakikat tujuan partai politik tersebut ternyata masih jauh dari apa yang menjadi harapan kita bersama. Pencapaian tujuan tersebut terhambat karena banyak masalah internal partai khususnya kader-kader yang tersandung korupsi, permasalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi dari partai politik itu sendiri. Oleh karena itu Efektifnya tujuan dan fungsi partai politik sangat menentukan bagaimana baik atau buruknya pengaruh yang akan di timbulkan dalam negara.
Masuknya partai politik sebagai peserta pemilihan umum dalam proses demokratisasi untuk duduk dieksekutif dan legislatif pusat maupun daerah yang secara konstitusional diatur dalam UUD 1945, memberikan ruang yang begitu besar kepada partai politik untuk membuat pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dari kader-kader partai politik inilah yang akan menjadi wakil rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting dan strategis dalam negara, sehingga keberadaan partai politik sangat-sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Kita tidak bisa menyalahkan sistem yang ada, karena pada dasarnya ide dan gagasan itu adlah sesuatu yang sangat mulia, hanya saja ketika tahap implementasinya berubah menjadi unsur poltik. Jadi tidak heran jika kontribusi anggota partai politik sangat jauh menyimpang dari tugas dan fungsi mereka yang sesuai dengan ketetapan hukum perundang-undangan dan sistem demokrasi pemeintahan indonesia. Sehingga pada akhirnya, ketimpangan dan permasahalan yang timbul dilingkungan masyarakat membuat hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan kota/daerah (krisis Legitimasi), dan hal ini mneyebabkan semakin lambat nya proses pembanguan.
B. Saran
Ø  Para pengurus partai harus terus mengevaluasi kinerja fungsi partainya beserta para kader-kadernya, mengingat besarnya pengaruh partai politik dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia. Utamanya fungsi rekrutmen partai politik dan pendidikan politik secara berkesinambungan.
Ø  Pemerintah harus pandai dalam memilah, proram mana yang harus didahulukan dan program mana yang pantas untuk sebagai cadangan.
Ø  memberikan sanksi tegas kepada partai politik yang tidak melaksanakan fungsinya secara penuh sesuai tuntutan undang-undang partai politik, dengan melihat laporan kinerja partai politik. Hal tersebut untuk memberikan efek jera, sehingga partai politik terus berbenah untuk melakukan perbaikan-perbaikan demi mencapai hakikat tujuan dibentuknya partai politik itu sendiri. Selain itu harus ada kerjasama yang baik antara pengurus partai, pemerintah dan masyarakat dalam proses pelaksanaan tujuan dan fungsi partai politik itu sendiri, sehingga hal tersebut dapat mempercepat proses tujuan dibentuknya partai politik sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·         DeLeon, Peter. 1998. Advies and Consent : The Development of the policy Scince. New York: Russell Sage.
·         Almond, Gabriel A., and G. Bingham Powell, Jr. (eds). 1974 Comparative Politics Today : A world View, Boston : Little, Brown and Co. Edisi ke-2 1980. Sebuah Teks pengenalan yang topiknya berfokus pada sosialisasi budaya politik, partisipasi dan rekruitmen politik, kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan penyusunan kebijakan di institusi-institusi dan badan-badan pemerintah.
·         Anderson, Charles, 1971 “Comporative Policy Analysis” Comporative Politics IV (Oktober), 117-132. Berfokus pada masalah-masalah pilihan publik, analisys pemerintahan dikaitkan dengan perbandingan politik
·         Albinski, Henry S., dan Lawrence K. Pettit (eds) 1974 European Political Processes, Essay dan reading: Allyn and Bacon. Esai-esai asli tentang empat negara besar eropa dengan perhatian kepada sistem-sistem nilai, kepentingan-kepentingan kelompok, pemilihan umum, partai-partai dan kaum elitnya, proses politik, dan administrasinya
·         Andrew, William G 1962, European Political Institutions : A Comporative Government Reader Princeton, New Jersey : D. Van Nostrand Co. Dokumen-dokumen menyangkut empat sistem utama eropa dengan perhatian kepada partai-partai politik, lembaga legislatife, dan lembaga eksekutife
·         Alfian, Dr. 1991. Komunikasi Politik dan sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Granmedia Pustaka Utama
·         Budiarjo. Miriam. Prof. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
·         Djajasumarga, kasum, Prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan nasional, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit IKIP Semarang Press, 1992)
·         Nugraha, Safri. et al, Hukum Administrasi Negara, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007)
·         Siagian, Sondang P, Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi, dan strateginya), cet. Ketiga (Jakarta:Penerbit PT Bumi Aksara, 2003)



[1] Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[2] Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukm Tata Negara. (Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA, 2013). hlm. 414
[3] Hafied Cangara, komunikasi politik : Partai Politik dan pemilu. Ed-1-2, (jakarta:Rajawali pers) hal 207
[4] Lihat pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[5] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustak utama,1992). hlm.163-164
[6] Lihat di Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang partai Politik
[7] Sigit Pamungkas, Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia), (Sleman, Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai,2011). Hlm,35
[8] Charles Lindblom (1986).Proses Penetapan Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Penerjemah Ardian Syamsudin. Jakarta:Airlangga, hlm 3
[9] Budi Winarno. Kebijakan publik (Tahap-tahap kebijakan). Cet-1. Yogyakarta . hal 36-37