KRISIS
LEGITIMASI DAN EKSISTENSI PARTAI POLITIK
(Menyikapi kegemaran Anggota Dewan Aceh Yang Suka Studi Banding ke Luar Negeri)
(Menyikapi kegemaran Anggota Dewan Aceh Yang Suka Studi Banding ke Luar Negeri)
Oleh
: Khairul ahmadi/140801008/Ilmu Politik
ABSTRAK
Indonesia
adalah salah satu negara yang menganut paham demokrasi dan juga sebagai nagara
hukum, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam konstitusinya UUD 1945. sebagai
negara demokrasi maka kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan, wujud dari
sebuah implementasi demokrasi dapat dilhat dalam proses pemilihan Umumu atau biasa
disingkat dengan PEMILU. Pemilihan Umum ini digunakan untuk memilih wakil
rakyat baik untuk duduk dieksekutif maupun legislatif baik ditingkat pusat
maupun daerah. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
penelitian deskriptif, pendekatan normatif yang terfokus pada penelitian
terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, sinkronasi vertical dan horizontal
dari peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum dan sejarah hukum serta
ditambah dengan data empiris. kemudian dikelompokkan ke dalam bahan penelitian,
urgensi dan relevansi dalam objek penelitian, kemudian diolah, diklasifikasikan
secara sistematis, logis, dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran
umum dan spesifik mengenai objek penelitian. Analisis data dilakukan secara
kualitatif yuridis. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Pada hakikatnya partai politik dibentuk memiliki sebuah tujuan
yang mulia dengan peranannya dapat membantu proses tujuan negara yang
dicita-citakan. oleh karena itu maka diperkuatlah kelembagaannya melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, namun melihat proses penerapan untuk
mencapai hakikat tujuan partai politik tersebut ternyata masih jauh dari apa
yang menjadi harapan kita bersama. Pencapaian tujuan tersebut terhambat karena
banyak masalah internal partai khususnya kader-kader yang tersandung korupsi,
permasalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi
dari partai politik itu sendiri. Oleh karena itu Efektifnya tujuan dan fungsi
partai politik sangat menentukan bagaimana baik atau buruknya pengaruh yang
akan di timbulkan dalam negara. Masuknya partai politik sebagai peserta
pemilihan umum dalam proses demokratisasi untuk duduk dieksekutif dan
legislatif
pusat maupun daerah yang secara konstitusional diatur dalam UUD 1945,
memberikan ruang yang begitu besar kepada partai politik untuk membuat
pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dari kader-kader
partai politik inilah yang akan menjadi wakil rakyat untuk menentukan
kebijakan-kebijakan penting dan strategis dalam negara, sehingga keberadaan
partai politik sangat-sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
UUD
19453 Pasal 1 ayat (2) menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar, di sini jelas kita melihat bahwa
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham kedaulatan rakyat atau
biasa disebut dengan demokrasi. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang
dianggap sebagai pemegang kekuasaan. UUD 1945 adalah Konstitusi negara
Indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di
Indonesia. kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Karena memang pada
hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat[1].
Masuknya
Partai politik sebagai perserta pemilihan umum, memperlihatkan kepada kita
bahwa dalam setiap sistem demokrasi partai politik mempunyai posisi (status)
dan peranan (role) yang sangat penting. Partai memainkan peran penghubung yang
sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan
banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan
demokrasi, seperti yang dikatakan oleh Schattsheider, “Political parties
created democrasy.” Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat
penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the dgree of
institutionaliztion) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh
schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkkable save in terms
of the parties.”[2]
Partai
politik adalah merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud
ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam
masyarakat demokratis[3].
Secara defenitif partai politik itu sendiri adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4]
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 fungsi partai
politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi
sarana: (i) Komunikasi Politik, (ii) Sosialisasi politik (Political
socialization), (iii) Rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv)
pengatur konflik (Conflict management).[5] Di
sini jelas memang terlihat bagaimana arti penting sebuah partai politik dalam
sebuah sistem demokrasi.
Namun
demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai
politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu
sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang
berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai
politik hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan
beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu “at the expense of
the general will” atau kepentingan umum.
Sistem
kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan
berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya,
efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks
and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem
kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini
tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir
bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir
itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip
kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat
demokratis yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas
sangat jelas bahwa keberadaan partai politik dalam sebuah sistem demokrasi yang
konstitusional memiliki peran dan pengaruh strategis didalam mempercepat tujuan
negara.
Oleh
karena itu maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya
dalam suatu karya ilmiah berbentuk jurnal dengan judul : “Krisis Legitimasi dan
Eksistensi Partai Politik (Menyikapi Kegemaran Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh Yang suka studi Banding Ke luar Negeri).”
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang melandasi terjadinya krisis legitimasi ?
2. Bagaimanakah
efektivitas partai politik dalam sistem Hukum dan Pemerintahan Demokrasi
Indonesia?
3. Apa
landasan Study Banding yang dianggap tidak ada manfaatnya, namun tetap menjadi
prioritas para anggota dewan ?
C.
Metode Penelitian
Data
yang dihimpun dengan cara mengumpulkan bahan analisa, kemudian dikelompokkan ke
dalam bahan analisa, urgensi dan relevansi dalam objek analisa, kemudian
diolah, diklasifikasikan secara sistematis, logis, dan yuridis dengan maksud
untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai objek penelitian.
Analisis dilakukan secara kualitatif yuridis.
PEMBAHASAN
A.
Kritis Legitimasi antara masyarakat dengan para anggota dewan
Kekuasaan
dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku
orang lain atau dalam pengertian abstraknya adalah hasutan, sehingga orang lain
akan mengikuti sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang pengajak tadi, atau
yang memiliki kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik,
kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan
tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan mengikut sertakan
seluruh anggota masyarakat. dengan kata lain suatu kekuasaan penuh akan
memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang
(authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang
merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.
a. Defenisi
Legitimasi Menurut Max Weber
Legitimasi adalah kualitas hukum yang
berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan, dan bagaimana kepercayaan dan
loyalitas masyarakat yang mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan, dan
kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Sedangkan Tradisi Nasional, adalah seberapa jauh masyarakat mau menerima
kewenangan, keputusan, atau kebijakan yang diambil pemimpin dalam ruang lingkup
tradisional.
Menurut Weber, ada 3 cara untuk
memperoleh legitimasi tersebut : (1). Legitimasi tradisional, (2). Kharisma,
(3). Legal/rasional.
b. Penyebab
terjadinya Krisis legitimasi
Dalam pesfektif Habermas (1975), krisis
legitimasi merupakan hasil dari ketidakmampuan sistem politik untuk mencegah
kontradiksi dalam sistem sosial yang ada. Namun jika kita menelaah langsung
sejauh mana perkembangan situasi dan kondisi indonesia saat ini, yang tentunya
tidak lepas dari hubungan/interaksi sosial antara masyarakat dengan pemilik
kekuasaan.
Banyak sekali studi kasus yang membahas
persoalan ini, sisi positife dan negative berpacu mendefenisikan persoalan ini.
Lazimnya realita yang ada, hilang nya kpercayaan masyarakat terhadap mereka
(Senator) tidak lain disebabkan karena ketidaksesuaian mengenai eksistensi dan
kontribusi para anggota dewan yang selalu mengingkari janji-janji nya terhadap
masyarakat. Disaat mereka (senator) sebelum menjadi anggota legislatife selalu
berjanji untuk menciptakan tatanan hukum yang adil untuk mencapai
kesejahteraan. Namun, nyatanya mereka hanya sekedar janji kampanye, mereka
selalu mengatakan untuk mengedepankan kepentingan masyarakat, namun nyatanya
mereka lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadinya,
mereka selalu mengatakan akan bekerja sekuat tenaga dengan suka rela, dan
nyatanya jangankan untuk urusan besar, untuk rapat saja mereka di bayar baru
mau datang, bagaimana jika turun lapangan.
B.
Efektivitas Partai Politik Dalam Sistem Hukum dan Pemerintahan Demokrasi
Indonesia
a) Tujuan
Partai Politik
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pada Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3)
Menyatakan:
1. Tujuan
umum Partai Politik adalah:
a. Mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Mewujudkan
cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Menjaga
dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. Tujuan
khusus Partai Politik adalah:
a. Mendapatkan
Legitimasi, guna untuk memperlancar proses kekuasaan
b. Meningkatkan
partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan
kegiatan politik dan pemerintahan;
c. Memperjuangkan
cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; dan
d. Membangun
etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara[6].
3. Tujuan
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
secara konstitusional :
Pada dasarnya ide dan gagasan itu
adalah suatu hal yang baik dan Tentu memiliki tujuan yang sangat mulia dengan
berusaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam
pembukaan undang-undang dasar tahun 1945 menuju negara aman, adil, makmur dan
sejahtera. Sudah jelas memang kontribusi Partai politik sebagai infrastruktur
politik dapat dikatakan sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainakn peranan
yang penting sebagai penghubung antara the state (pemerintahan negara) dengan
the citizens (warga negaranya) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Sri Soemantri M., mengemukakan,
pusat-pusat kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan suatu negara itu berada
dalam 2 (dua) suasana, yaitu : (1) infra struktur politik, Partai politik
merupakan salah satu pusat kekuasaan yang berada di Peraturan
Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya di Indonesiasupra struktur politik; (2)
Suorestruktur .(Bandung: Pustaka Sutra, 2008), hlm. 12-13.
Partai politik, dalam kontribusi
dan berbicara masalah eksistensi nya terhadap masyarakat merupakan pilar atau
tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik
yang demokratis. Derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan
kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara. Akan tetapi, dalam
pandangan negatife, menyatakan bahwa partai politik tidak lebih daripada
sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan
sekedar sebagai sarana bagi mereka untuk memuaskan birahi kekuasaannya sendiri.
Oleh karena itu menurut Robert Michels, partai politik seperti organisasi pada
umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.
Pandangan negatif (skeptis) itu kemudian
muncul dengan melihat kenyataan yang terjadi saat ini, pada prakteknya dalam
prosesi untuk mewujudkan tujuan partai politik tersebut yang tujuan mulianya
selaras dengan cita-cita bangsa dan negara ternyata masih jauh dari apa yang
menjadi harapan kita bersama. Hal tersebut dikarenakan banyaknya permasalahan
yang terjadi di partai politik mulai dari sengketa internal partai politik;
sengketa antarpartai politik atau antara partai politik dengan subjek hukum
lainnya; pertentangan antara partai politik dengan pemerintah; dan perselisihan
mengenai hasil pemilihan umum (pemilu) antara partai politik sebagai peserta
pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.
4. Fungsi
Partai Politik
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pada Pasal 11 ayat (1) dan (2)
menyatakan:
5. Partai
Politik berfungsi sebagai sarana:
a. Pendidikan
politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara;
b. Penciptaan
iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap,
penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi
politik warga negara Indonesia; dan
e. Rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
6. Fungsi
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
“Trias Politica” adalah teori yang didalamnya
terdapat beberapa penjelasan mengenai besar atau tidaknya perananpartai politik
Khususnya dalam lingkup (Legislatif: MPR dan DPR, Eksekutif: Presiden, dan
Yudikatif: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) berikut ini:
Menurut
UUD 1945 pada Bab II Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.” Lebih lanjut Menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada Pasal
1 angka 1 yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang selanjutnya disingkat MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”[7] Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan salah satu lembaga permusyawaratan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara sebagai wujud dari demokrasi untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Hal tersebut sudah ditegaskan
dalam UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 3 yang menegaskan: “MPR
merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.”
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memiliki status sebagai lembaga negara
dibentuk tentu memiliki wewenang dan tugas. Adapun wewenang dan tugas tersebut
diatur dalam UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 4 dan 5.
Apabila
kita menelaah pengaruh paratai politik maka jelas kita dapat menggaris bawahi
pada syarat pemberhentian pada huruf d, g dan h. Dimana dalam pemberhentian
sebagai Anggota MPR/DPR dapat diusulkan oleh partai politik, diberhentikan
keanggotannya di partai politik dan menjadi anggota partai politik lainnya.
Secara teoritis ini dikenal sebagai 14 Penjelasan Mengenai Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut UUD 1945 dan menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Recall,
dimana “Hak Recall” tersebut juga diberikan kepada partai politik. Apabila hal
tersebut ini terjadi maka para anggota DPR di parlemen dalam menyampakan
pandangan atau pendapatnya nanti akan mendapat intervensi dari partai politik
dimana ia berasal. Sehingga akan cenderung yang diperjuangkan bukanlah
kepentingan rakyat, tapi malah kepentingan partai politik.
2.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR
merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Hal tersebut di tegaskan dalam pasal 68 UU No 16 tahun 2014 tentang MD3, adapun
fungsi lembaga ini dibuat lebih lanjut pada Pasal 69 dan Pasal 70. Menelaah
wewenang dan tugas DPR yang begitu luar biasa, mengingat memang secara
konstutusional yang merupakan representasi dari rakyat. Oleh karena itu sudah
sepatutnya DPR harus murni memperjuangkan aspirasi rakyat diparlemen dan bebas
dari pengaruh-pengaruh luar termasuk partai politik. Namun apabila kita melihat
kenyataan yang terjadi, sama halnya dengan anggota MPR pengaruh partai partai
politik diparlemen tidak bisa lepas dari bayang-bayang partai politik
pengusungnya pada saat pemilihan umum.
Karena
memang dalam UU No 16 tahun 2014 tentang MD3 terkait Susunan dan Kedudukan DPR
pada Pasal 67 menyatakan: “DPR terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.” Selain itu, dalam susunan
di DPR maka setiap anggota diawajibkan untuk masuk kedalam salah satu fraksi
partai politik. Tidak hanya itu pemberhentian antar waktu atau secara teori
disebut dengan Recall16 sama halnya dengan Anggota MPR partai politik salah satu
yang dapat memberhentikan kadernya di DPR. Oleh karena itu pengaruh partai
politik di DPR masih sangat kuat, sehingga sangat diharapkan pengaruh itu
dimanfaatkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan justru
sebaliknya.
3.
Presiden Republik Indonesia
Dalam
UUD tahun 1945 menegaskan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan:
(1)“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.” (2) “Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh
satu orang wakil presiden.”
Peran
dan pengaruh partai politik pada bagian eksekutif terlihat sebagaimana dalam UUD tahun 1945
pada Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan secara tegas: “Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Oleh karena itu
lagi dan lagi peran serta pengaruh partai politik tidak bisa dihindari karena
memang dijamin secara konstitusional dalam UUD tahun 1945.
4.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI)
UUD
tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan. Penjelasan ini mengenai kekuasaan
presiden dalam menjalankan pemerintahan Indonesia. Pengaruh partai politik
untuk presiden berawal dari proses pencalonan dalam pemilihan umum, yang
diusung oleh partai politik peserta pemilihan umum.
peradilan
Agama, lingkungan peradilan militer, lingkunagn peradilan tata usaha negara dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Lebih lanjut menurut UUD tahun 1945 pasal 24A
ayat (1) yang menyatakan:
“Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tigkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Untuk melihat pengaruh partai
politik walaupun tidak secara langsung, itu dapat kita lihat dalam UUD tahun
1945 pada Pasal 24A Ayat (3) yang menyatakan: “Calon hakim agung yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.”
Dalam proses pengangkatan hakim agung harus berdasarkan persetujuan DPR.
Anggota DPR merupakan juga berasal dari kader partai politik sehingga dalam
persetujuan tersebut tetaplah partai politik memiliki peran. Namun peran maupun
pengaruh tersebut tentu sangat diharapkan dapat membawah untuk kemanfaatan
rakyat yang sebesar-besarnya.
5.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI)
UUD
tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan
militer, lingkunagn peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
UUD tahun 1945 pada Pasal 24 ayat (2)
membahas mengenai status kedudukan MA, dan UUD tahun 1945 pasal 24A ayat (1)
membahas mengenai wewenang MA dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
C. Apa
landasan Studi Banding yang dianggap tidak ada manfaatnya, namun tetap menjadi
prioritas para anggota dewan
Anggota
dewan sebagai julukan yang diberikan masyarakat terhadap mereka para anggota legislatif, yang berperan penting untuk
kepentingan masyarakat. Merekalah yang memiliki wewenang untuk mendengar dan
menciptakan solusi dengan besarnya skala problema yang ada dilingkungan
masyarakat. Dalam tingkatannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbagi atas
beberapa tingkatan, yang terbagi atas pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah. Pada dasarnya tugas dan fungsi mereka sama, hanya saja situasi dan
kondisi yang mereka hadapi itu berbeda.
Nah,
dalam menanggapi permasalahan hobbi para senator yang suka mengajukan
penyelenggaraan kegiatan studi banding ke luar negeri yang tentunya dengan
biaya yang sangat menakjubkan. Apa yang melandasi hal ini? Rasionalkah? apa
dampak yang diperoleh dari kegiatan studi banding tersebut?. Inilah pertanyaan
yang kerap kali muncul dalam memprotes hobby para senator yang suka jalan-jalan
dengan uang rakyat dengan modus studi banding.
Aceh
misalnya, akhir-akhir ini rakyat aceh dipenuhi dengan berita yang membuat
mereka kesal dan tidak terima dengan tingkah para anggota dewan perwakilan
rakyat aceh yang akan studi bending ke 5 benua. Hal ini memicu banyak nya
netizen yang berkomentar pedas terhadap Anggota DPRA, seperti yang penulis
kutip disalah-satu media online, disampaikan oleh berinisial T.A (Pengamat dan
penulis S2 bidang teologi dan filsafat) mengatakan bahwa “secara esensial dan
substansial semua nya adalah akal bual-bualan alias bulshit belaka. Karena
memang bukan kunjungan kerja yang dia lakukan malah sebaliknya, jalan-jalan,
shopping, dan menghamburkan uang rakyat.” Beliau berani berbicara demikian,
karena dalam peragraf selanjutnya menerangkan bahwa komentar dia adalah sesuatu
yang fakta, karena mereka (Mahasiswa yang ada diluar negeri) sering mendapatkan
undangan dari kedubes Indonesia di luar negeri untuk bersilaturahmi dengan para
anggota dewan, dan tentunya para mahasiswa dengan kritis bisa memantau apa yang
dilakukan para anggota dewan tersebut selama di luar negeri.
Menurut
penulis sendiri, bukan tida boleh melakukan kunjungan kerja atau studi banding
ke luar negeri, selama itu menjadi kebutuhan daerah dan uergent ya silahkan
saja. Namun, alangkah baiknya program itu harus tepat sasaran, mendahulukan
program yang bisa menciptakan perubahan, dan mengposisikan program yang
dianggap pantas untuk sebagai cadangan. Jika para anggota dewan bersikeras
tetap melakukan rutinitas mereka untuk kunjungan kerja atau studi banding ke
luar negeri, maka apakah itu akan membawa perubahan secara mendasar untuk
daerah, khususnya aceh? Apakah dengan demikian pembangunan bidang ekonomi,
kesehatan, pendidikan, dan bidang lainnya semakin maju ?, dari pertanyaan
tersebut ada beberapa contoh kecil jika kunjungan kerja tersebut memberikan
perubahan yang konrit bagi daerah, yaitu bagaimana ilmu dan pengetahuan yang
diperoleh dari hasil kunjungan kerja terebut tersosialisasikan dengan baik
terhadap masyarakat, dan ilmplementasinya membuat masyarakat memperbaiki
pendapatan perkapita yang meningkat sehingga hal tersebut bisa dikatakan
sebagai proses perubahan dan kemajuan. Namun yang terjadi bagaiamana? Sampai
sejauh ini hal tersbut masih bisa dikatan sebagai sesuatu yang nihl dan tidak
akan terjadi. Jadi alangkah baiknya jika progam kunjungan kerja ini dengan
nilai pengluaran yang 3 Miliyar lebih djadikan sebagai program cadangan, dan
pengalokasian anggarannya kepada upaya pembangunan masyarakat, seperti halnya
peminjaman modal untuk UKM (usaha kecil menengah) kepada masyarakat yang
membutuhkannya, atau anggaran tersbut digunakan untuk pembanguan infrastruktur
yang saat sekarang ini masih banyak kekurangan, dan hal demikian lebih
memberikan hasil yang konkrit dan berguna bagi khalayak ramai.
Ternyata
dalam peraturan menteri dalam negeri no 11 tahun 2011 bagaimana mekanisme dan
aturan menganai program kerja pejabat pemerintah kota/kabupaten dalam hal
kunjungan kerja sudah diatur jelas dalam Permen. No 11 tahun 2011 tersebut.
Inilah yang melandasi program kunjungan kerja ke luar negeri akan tetap
berjalan seiring waktu, dan hal ini dtetapkan dengan tempo waktu setahun
sekali, walaupun banyak upaya yang mencegah program, namun apalah daya jika
mengkritik tanpa mengedepankan uang, takkan berhasil mengubah pola, sistem, dan
aturan jika tidak di iming-imingi uang, karena siatuasi saat sekarang ini yaitu
hidup denga semboyan “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar”
Perlu
diketahui, Ada 4 tahap dalam proses penetapan dan menyelenggarakan program[8],
diantaranya : (1) Tahap Agenda setting, bagaimana pada tahap ini para Policy
Maker melihat, menelaah , dan mendefinisikan setiap masalah yang ada, (2).
Tahap Formulasi, pada tahap ini mencari dan menetapkan program sebagai upaya
untuk menanggulangi setiap masalah yang ada, (3) Tahap Implementasi, pada tahap
ini sebagai proses terealisasinya susunan program yang telah direncanakan, dan
(4).[9]
Tahap Evaluasi, sebagai analisa bagaimana baik buruknya program yang telah
terealisasi. Max weber berasumsi, bahwa
pemerintah yang baik (Good Governance) ialah pemerintah yang bisa menempatkan
skala prioritas, program mana yang semestinya di dahulukan, dan program mana
yang seharusnya dijadikan sebagai program cadangan.
Pada
akhirnya, sangat jelas bahwa pemerintahan daerah khususnya daerah aceh sebagai
pemerintahan yang jauh dari syarat-syarat sebagai pemerintahan yang baik (Good
Governance), karena program mengenai kunjungan kerja ke 5 benua yang akan
dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat aceh sebagai bukti konkrit bahwa
pemerintah yang tidak bisa menempatkan skala prioritas, program mana yang
semestinya di dahulukan, dan program mana yang seharusnya dijadikan sebagai
program cadangan. Dan hal ini juga berdampak buruk pada hubungan masyarakat
denga pemerintahan daerah, hal ini menyebabkan terjadinya krisis legitimasi,
karena masyarakat tidak lagi mempercayai wakil-wakil mereka yang berperan untuk
memperjuangkan kebutuhan mereka.
A.
Kesimpulan
Pada
hakikatnya partai politik dibentuk memiliki sebuah tujuan yang mulia dengan
peranannya dapat membantu proses tujuan negara yang dicita-citakan. Oleh karena
itu maka diperkuatlah kelembagaannya melalui Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik, namun melihat proses penerapan untuk mencapai hakikat
tujuan partai politik tersebut ternyata masih jauh dari apa yang menjadi
harapan kita bersama. Pencapaian tujuan tersebut terhambat karena banyak
masalah internal partai khususnya kader-kader yang tersandung korupsi,
permasalahan tersebut terjadi dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi
dari partai politik itu sendiri. Oleh karena itu Efektifnya tujuan dan fungsi
partai politik sangat menentukan bagaimana baik atau buruknya pengaruh yang
akan di timbulkan dalam negara.
Masuknya
partai politik sebagai peserta pemilihan umum dalam proses demokratisasi untuk
duduk dieksekutif dan legislatif pusat maupun daerah yang secara konstitusional
diatur dalam UUD 1945, memberikan ruang yang begitu besar kepada partai politik
untuk membuat pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dari
kader-kader partai politik inilah yang akan menjadi wakil rakyat untuk
menentukan kebijakan-kebijakan penting dan strategis dalam negara, sehingga
keberadaan partai politik sangat-sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia.
Kita
tidak bisa menyalahkan sistem yang ada, karena pada dasarnya ide dan gagasan
itu adlah sesuatu yang sangat mulia, hanya saja ketika tahap implementasinya
berubah menjadi unsur poltik. Jadi tidak heran jika kontribusi anggota partai
politik sangat jauh menyimpang dari tugas dan fungsi mereka yang sesuai dengan
ketetapan hukum perundang-undangan dan sistem demokrasi pemeintahan indonesia.
Sehingga pada akhirnya, ketimpangan dan permasahalan yang timbul dilingkungan
masyarakat membuat hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan
kota/daerah (krisis Legitimasi), dan hal ini mneyebabkan semakin lambat nya proses
pembanguan.
B.
Saran
Ø Para
pengurus partai harus terus mengevaluasi kinerja fungsi partainya beserta para
kader-kadernya, mengingat besarnya pengaruh partai politik dalam Sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Utamanya fungsi rekrutmen partai politik dan
pendidikan politik secara berkesinambungan.
Ø Pemerintah
harus pandai dalam memilah, proram mana yang harus didahulukan dan program mana
yang pantas untuk sebagai cadangan.
Ø memberikan
sanksi tegas kepada partai politik yang tidak melaksanakan fungsinya secara
penuh sesuai tuntutan undang-undang partai politik, dengan melihat laporan
kinerja partai politik. Hal tersebut untuk memberikan efek jera, sehingga
partai politik terus berbenah untuk melakukan perbaikan-perbaikan demi mencapai
hakikat tujuan dibentuknya partai politik itu sendiri. Selain itu harus ada
kerjasama yang baik antara pengurus partai, pemerintah dan masyarakat dalam
proses pelaksanaan tujuan dan fungsi partai politik itu sendiri, sehingga hal
tersebut dapat mempercepat proses tujuan dibentuknya partai politik sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
·
DeLeon, Peter. 1998. Advies and Consent : The Development of the
policy Scince. New York: Russell Sage.
·
Almond, Gabriel A., and
G. Bingham Powell, Jr. (eds). 1974 Comparative
Politics Today : A world View, Boston : Little, Brown and Co. Edisi ke-2
1980. Sebuah Teks pengenalan yang topiknya berfokus pada sosialisasi budaya
politik, partisipasi dan rekruitmen politik, kelompok-kelompok kepentingan,
partai politik, dan penyusunan kebijakan di institusi-institusi dan badan-badan
pemerintah.
·
Anderson, Charles, 1971
“Comporative Policy Analysis” Comporative
Politics IV (Oktober), 117-132. Berfokus pada masalah-masalah pilihan
publik, analisys pemerintahan dikaitkan dengan perbandingan politik
·
Albinski, Henry S., dan
Lawrence K. Pettit (eds) 1974 European
Political Processes, Essay dan reading: Allyn and Bacon. Esai-esai asli
tentang empat negara besar eropa dengan perhatian kepada sistem-sistem nilai,
kepentingan-kepentingan kelompok, pemilihan umum, partai-partai dan kaum
elitnya, proses politik, dan administrasinya
·
Andrew, William G 1962, European Political Institutions : A
Comporative Government Reader Princeton, New Jersey : D. Van Nostrand Co.
Dokumen-dokumen menyangkut empat sistem utama eropa dengan perhatian kepada
partai-partai politik, lembaga legislatife, dan lembaga eksekutife
·
Alfian, Dr. 1991. Komunikasi Politik dan sistem Politik
Indonesia. Jakarta: PT Granmedia Pustaka Utama
·
Budiarjo. Miriam. Prof.
2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
·
Djajasumarga, kasum,
Prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan nasional, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit
IKIP Semarang Press, 1992)
·
Nugraha, Safri. et al,
Hukum Administrasi Negara, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2007)
·
Siagian, Sondang P,
Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi, dan strateginya), cet. Ketiga
(Jakarta:Penerbit PT Bumi Aksara, 2003)
[1] Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[2] Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukm Tata Negara. (Jakarta: PT.
RAJAGARFINDO PERASADA, 2013). hlm. 414
[3] Hafied Cangara, komunikasi
politik : Partai Politik dan pemilu. Ed-1-2, (jakarta:Rajawali pers) hal
207
[4] Lihat pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik.
[5] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustak utama,1992). hlm.163-164
[6] Lihat di Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011
Tentang partai Politik
[7] Sigit Pamungkas, Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia),
(Sleman, Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai,2011). Hlm,35
[8] Charles Lindblom (1986).Proses
Penetapan Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Penerjemah Ardian Syamsudin.
Jakarta:Airlangga, hlm 3
[9] Budi Winarno. Kebijakan publik
(Tahap-tahap kebijakan). Cet-1. Yogyakarta . hal 36-37