NAMA :
Khairul Ahmadi
NIM :
140801008
JURUSAN :
Ilmu Politik
TUGAS :
Partai Politik dan Pemilu
“ Krisis Legitimasi”
( peran anggota parpol setelah mendapatkan kekuasaan )
( peran anggota parpol setelah mendapatkan kekuasaan )
Krisis
Legitimasi Di Indonesia
( Peran Anggota Partai Politik Setelah Mendapatkan Kekuasaan )
( Peran Anggota Partai Politik Setelah Mendapatkan Kekuasaan )
Jika
berbicara mengenai tentang apa itu krisis Legitimasi ? tentunya yang paling
utama terbayang dalam fikiran kita yaitu terjadi nya kerusakan, kesalahan,
kegagalan, dalam hal apa ? dalam hal kepemimpinan. Padahal kalau kita
fikir-fikir segala macam prosedur, metode-metode, hukum serta norma-norma yang
berlaku dalam menjalankan kepemimpinan di Negara Indonesia ini sudah sangat
bagus, Perfect dan complete. Tapi apa yang menyebabkan kehancuran ? kenapa bisa
terjadi krisis kepemimpinan ? Jawaban nya adalah. Itulah yang akan kita bahas
dalam pembahasan ini.
Kekuasaan
dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku
orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang
yang memiliki kekuasaan tersebut.[1]
Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat
seluruh anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan.
Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah
kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang
memiliki keabsahan atau legitimasi.
Kewenangan
seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi. Legitimasi
merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk
memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Secara garis besar legitimasi merupakan
hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan
oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya
berasal dari yang diperintah.
Secara
umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin
pemerintahan.[2]
Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari
kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan
masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan menciptakan pemerintahan yang
stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang
menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki legitimasi akan lebih
mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang mendapatkan
legitimasi.
Di
Indonesia, dalam upaya membangun legitimasi politik berawal dari pemilu 1999
yang merupakan pemilu perdana pasca mundurnya presiden Suharto dari tampuk
kekuasaan. Habibie, selaku pengganti Suharto, melaksanakan pemilu tiga tahun
lebih cepat dari waktu yang seharusnya dijadwalkan, yaitu tahun 2002.
Percepatan pemilu ini adalah hasil tekanan rakyat pada pemerintahan habibie
yang di pandang tidak memiliki legitimasi untuk memegang kekuasaan. Pada fase setelah keruntuhan Orde Baru
kecilnya penolakan terhadap di buangnya format politik dua Partai dengan
menggantikannya dengan sistem multi partai.[3]
Agar mencapai format politik yang lebih demokratis. Dan pemilu menjadi semacam
simpang jalan : apakah proses politik itu terus setia pada jalur demokratisasi,
berbelok jalan, atau bahkan berbalik arah sama sekali.[4]
Namun
ternyata berdasarkan hasil pengamatan
semenjak di berlakukannya sistem multi partai semakin banyak pula hal-hal yang
berbalik arah (tidak sesuai dengan Tujuan dan fungsi Parpol) sehingga
menyebabkan Krisis Legitimasi pada
lembaga legislative Di Negara ini.
Hampir seluruh Negara di penjuru dunia ini mengalami krisis
legitimasi, terkecuali dengan Negara superpower yaitu Amerika serikat, jika
dibandingkan dengan Indonesia yang berlarut dalam kencang nya arus
permasalahan, seperti kata pepatah “ Mati satu tumbuh seribu” dalam arti
permasalahan di Indonesia ini jika telah selesai satu permasalahan maka akan
ada lebih banyak permasalahan yang akan timbul. Pantas saja kenapa permasalahan
kemiskinan, keadilan, dan kesejahteraan di Indonesia ini tidak terimplementasi
secara baik, aspirasi-aspirasi masyarakat tidak terakomodir secara baik, ternyata
para pengatur konflik (Anggota legislative) malah menjadi actor konflik. Mereka
lupa pada janji mereka sebelum mendapatkan kekuasaan tersebut, mereka lupa pada
tugas mereka yang akan mengayomi masyarakat, yang akan menjadi jembatan
penghubung antara mayarakat dengan lembaga pemerintahan, seharusnya mereka bisa
meredakan permasalahan apabila terjadi konflik di lembaga pemerintahan, bukan
sebaliknya. Apa yang salah dengan sistem di Negara ini, apakah itu penyebab
dari sistem multiparty, terlalu banyak perwakilan, sehingga banyak nya perbedaan
pendapat dan tujuan memicu terjadinya konflik di ranah partai politik sendiri. Dan
dengan adanya kekuasaan menjadi alat sebagai pendorong agar bisa mencapai
tujuan dan keinginan para anggota partai. Tidak heran kenapa orang –orang rela
menghabiskan uang banyak di saat Pemilu Legislative, tidak lain di karenakan
ada tujuan tertentu.
Dalam
Teori Peran dan Fungsi Partai Politik yang sudah jelas dikatakan bahwa, Partai
politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga Negara Indonesia secara suka rela atas jasa kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, Negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan pancasila ( UU
No 2 Tahun 2011 ). Dengan berbagai fungsi-fungsi partai politik seperti
sosialisasi politik yang akan memberikan wawasan bagi masyarakat tentang betapa
pentingnya itu politik sehinga masyarakat tidak lagi di kategorikan sebagai
masyarakat qaula/primitive yang tidak mau tahu tentang apa itu politik dan
pemerintahan, partai politik sebagai control politik yang akan mengatur segala
peran elit maupun kegiatan yang menyangkut akan politik dan pemerintahan,
partai politik sebagai rekrutmen politik dalam arti mengajak setiap individual
yang dianggap mampu untuk mendapatkan posisi sebagai wakil rakyat, partisipasi
politik yang ikut serta berperan dan berpatisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang
menyangkut akan sosial, dan pengendali konflik yang di harapkan mampu
mengakomodir segala permasalahan atau konflik yang terjadi di ranah
pemerintahan atau partai politik sebagai penengah/pereda konflik.[5]
Dari
berbagai peran dan fungsi partai politik tersebut yang seharusnya mampu
menciptakan kesejahteraan. Namun sangat jauh ketercapaiannya di Negara ibu
pertiwi ini, Para anggota partai yang telah mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sehingga terpilih menjadi perwakilan rakyat yang akan mengakomodir
segala aspirasi-aspirasi masyarakat menjadi kenyataan, apa boleh buat harapan
tidak sesuai dengna kenyataan. Yang terjadi di Negara ini adalah mengutamakan
aspirasi sendiri demi kepentingan sendiri, Artinya para anggota partai yang
sudah terpilih malah saling berlomba mengemukakan doktrin nya seakan-akan itu
adalah demi kepentingan rakyat, namun nyatanya itu adalah kepentingan mereka
sendiri.
Kesimpulannya adalah, pada dasarnya sistem di Negara ini
sangat bagus. Bukan hanya di Indonesia saja, di Negara-negara lain demikian.
Tapi ada hal-hal yang membuat sitem itu tidak bagus, bahkan akan berdampak pada
kehancuran. Disebabkan karena terjadinya krisis Legitimasi sehingga pada
akhirnya terjadilah tidak berkesinambungan antara para elit partai, keadilan
dan kesejahteraan tidak dirasakan oleh para rakyat, yang ada hanya kemiskinan.
Di Negara ini bagaikan pepatah “Maju tak gentar membela yang bayar” artinya
many money is king (banyak uang kita adalah raja) yang bisa melakukan apa saja
sekehendak kita. Kenapa terjadi dis-integrasi antar sesama elit politik ? tidak
lain karena perbedaan tujuan. Ada yang betul-betul menjalankan tugas dari
posisi jabatannya, ada yang hanya ingin memperjuangkan kepentingan pribadi nya.
Namun pada akhirnya banyak diantaranya yang memperjuangkan kepentingannya
sendiri yang banyak memenangkan jika ada permasalahan, dikarenakan ada tunai
sebelum bekerja, ada perjanjian setelah masalah. Dan hal itu terus menjadi
buadaya di Negara ini, peran dan fungsi para anggota partai politik tidak lagi
sesuai pada jalurnya. Sampai pada akhirnya Negara ini sebagai Negara yang “
maju tak gentar membela yang bayar”
[1] Haryanto,
Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. (Yogyakarta : Fisipol Universitas
Gadjah Mada, 2005), hal.2
[2] Ibid.,hal.98
[3]
David Bourchier, pemerintahan peralihan Habibie:Reformasi, pemilihan umum,
Regionalisme, dan pergulatan Meraih kekuasaan, dalam Chris Manning dan peter
Van Dierman, Indonesia di tengah Transisi:Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan
Krisis,( LKis, Yogyakarta, 2000,) Hal 1
[4]
Hairus Salim HS(peny), Tujuh Mesin
Pendulang Suara, ( LKis, Yogyakarta, 1999,) hal 1
[5] Sigit
Pamungkas, Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia), (Sleman,
Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai,2011). Hlm,35
No comments:
Post a Comment