Thursday, January 21, 2016

Krisis Legitimasi




NAMA            : Khairul Ahmadi
NIM                : 140801008
JURUSAN      : Ilmu Politik
TUGAS           : Partai Politik dan Pemilu
                  “ Krisis Legitimasi”
( peran anggota parpol setelah  mendapatkan kekuasaan )




Krisis Legitimasi Di Indonesia
( Peran Anggota Partai Politik Setelah Mendapatkan Kekuasaan )

Jika berbicara mengenai tentang apa itu krisis Legitimasi ? tentunya yang paling utama terbayang dalam fikiran kita yaitu terjadi nya kerusakan, kesalahan, kegagalan, dalam hal apa ? dalam hal kepemimpinan. Padahal kalau kita fikir-fikir segala macam prosedur, metode-metode, hukum serta norma-norma yang berlaku dalam menjalankan kepemimpinan di Negara Indonesia ini sudah sangat bagus, Perfect dan complete. Tapi apa yang menyebabkan kehancuran ? kenapa bisa terjadi krisis kepemimpinan ? Jawaban nya adalah. Itulah yang akan kita bahas dalam pembahasan ini.
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memiliki kekuasaan tersebut.[1] Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.
Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi. Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik.  Secara garis besar legitimasi merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya berasal dari yang diperintah.
Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan.[2] Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki legitimasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi.
Di Indonesia, dalam upaya membangun legitimasi politik berawal dari pemilu 1999 yang merupakan pemilu perdana pasca mundurnya presiden Suharto dari tampuk kekuasaan. Habibie, selaku pengganti Suharto, melaksanakan pemilu tiga tahun lebih cepat dari waktu yang seharusnya dijadwalkan, yaitu tahun 2002. Percepatan pemilu ini adalah hasil tekanan rakyat pada pemerintahan habibie yang di pandang tidak memiliki legitimasi untuk memegang kekuasaan.  Pada fase setelah keruntuhan Orde Baru kecilnya penolakan terhadap di buangnya format politik dua Partai dengan menggantikannya dengan sistem multi partai.[3] Agar mencapai format politik yang lebih demokratis. Dan pemilu menjadi semacam simpang jalan : apakah proses politik itu terus setia pada jalur demokratisasi, berbelok jalan, atau bahkan berbalik arah sama sekali.[4]
Namun ternyata  berdasarkan hasil pengamatan semenjak di berlakukannya sistem multi partai semakin banyak pula hal-hal yang berbalik arah (tidak sesuai dengan Tujuan dan fungsi Parpol) sehingga menyebabkan Krisis Legitimasi  pada lembaga legislative Di Negara ini.
 Hampir seluruh  Negara di penjuru dunia ini mengalami krisis legitimasi, terkecuali dengan Negara superpower yaitu Amerika serikat, jika dibandingkan dengan Indonesia yang berlarut dalam kencang nya arus permasalahan, seperti kata pepatah “ Mati satu tumbuh seribu” dalam arti permasalahan di Indonesia ini jika telah selesai satu permasalahan maka akan ada lebih banyak permasalahan yang akan timbul. Pantas saja kenapa permasalahan kemiskinan, keadilan, dan kesejahteraan di Indonesia ini tidak terimplementasi secara baik, aspirasi-aspirasi masyarakat tidak terakomodir secara baik, ternyata para pengatur konflik (Anggota legislative) malah menjadi actor konflik. Mereka lupa pada janji mereka sebelum mendapatkan kekuasaan tersebut, mereka lupa pada tugas mereka yang akan mengayomi masyarakat, yang akan menjadi jembatan penghubung antara mayarakat dengan lembaga pemerintahan, seharusnya mereka bisa meredakan permasalahan apabila terjadi konflik di lembaga pemerintahan, bukan sebaliknya. Apa yang salah dengan sistem di Negara ini, apakah itu penyebab dari sistem multiparty, terlalu banyak perwakilan, sehingga banyak nya perbedaan pendapat dan tujuan memicu terjadinya konflik di ranah partai politik sendiri. Dan dengan adanya kekuasaan menjadi alat sebagai pendorong agar bisa mencapai tujuan dan keinginan para anggota partai. Tidak heran kenapa orang –orang rela menghabiskan uang banyak di saat Pemilu Legislative, tidak lain di karenakan ada tujuan tertentu.
Dalam Teori Peran dan Fungsi Partai Politik yang sudah jelas dikatakan bahwa, Partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara suka rela atas jasa kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, Negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan pancasila ( UU No 2 Tahun 2011 ). Dengan berbagai fungsi-fungsi partai politik seperti sosialisasi politik yang akan memberikan wawasan bagi masyarakat tentang betapa pentingnya itu politik sehinga masyarakat tidak lagi di kategorikan sebagai masyarakat qaula/primitive yang tidak mau tahu tentang apa itu politik dan pemerintahan, partai politik sebagai control politik yang akan mengatur segala peran elit maupun kegiatan yang menyangkut akan politik dan pemerintahan, partai politik sebagai rekrutmen politik dalam arti mengajak setiap individual yang dianggap mampu untuk mendapatkan posisi sebagai wakil rakyat, partisipasi politik yang ikut serta berperan dan berpatisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut akan sosial, dan pengendali konflik yang di harapkan mampu mengakomodir segala permasalahan atau konflik yang terjadi di ranah pemerintahan atau partai politik sebagai penengah/pereda konflik.[5]
Dari berbagai peran dan fungsi partai politik tersebut yang seharusnya mampu menciptakan kesejahteraan. Namun sangat jauh ketercapaiannya di Negara ibu pertiwi ini, Para anggota partai yang telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sehingga terpilih menjadi perwakilan rakyat yang akan mengakomodir segala aspirasi-aspirasi masyarakat menjadi kenyataan, apa boleh buat harapan tidak sesuai dengna kenyataan. Yang terjadi di Negara ini adalah mengutamakan aspirasi sendiri demi kepentingan sendiri, Artinya para anggota partai yang sudah terpilih malah saling berlomba mengemukakan doktrin nya seakan-akan itu adalah demi kepentingan rakyat, namun nyatanya itu adalah kepentingan mereka sendiri.
            Kesimpulannya adalah, pada dasarnya sistem di Negara ini sangat bagus. Bukan hanya di Indonesia saja, di Negara-negara lain demikian. Tapi ada hal-hal yang membuat sitem itu tidak bagus, bahkan akan berdampak pada kehancuran. Disebabkan karena terjadinya krisis Legitimasi sehingga pada akhirnya terjadilah tidak berkesinambungan antara para elit partai, keadilan dan kesejahteraan tidak dirasakan oleh para rakyat, yang ada hanya kemiskinan. Di Negara ini bagaikan pepatah “Maju tak gentar membela yang bayar” artinya many money is king (banyak uang kita adalah raja) yang bisa melakukan apa saja sekehendak kita. Kenapa terjadi dis-integrasi antar sesama elit politik ? tidak lain karena perbedaan tujuan. Ada yang betul-betul menjalankan tugas dari posisi jabatannya, ada yang hanya ingin memperjuangkan kepentingan pribadi nya. Namun pada akhirnya banyak diantaranya yang memperjuangkan kepentingannya sendiri yang banyak memenangkan jika ada permasalahan, dikarenakan ada tunai sebelum bekerja, ada perjanjian setelah masalah. Dan hal itu terus menjadi buadaya di Negara ini, peran dan fungsi para anggota partai politik tidak lagi sesuai pada jalurnya. Sampai pada akhirnya Negara ini sebagai Negara yang “ maju tak gentar membela yang bayar”




[1] Haryanto, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. (Yogyakarta : Fisipol Universitas Gadjah Mada, 2005), hal.2
[2]   Ibid.,hal.98
[3] David Bourchier, pemerintahan peralihan Habibie:Reformasi, pemilihan umum, Regionalisme, dan pergulatan Meraih kekuasaan, dalam Chris Manning dan peter Van Dierman, Indonesia di tengah Transisi:Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis,( LKis, Yogyakarta, 2000,) Hal 1
[4] Hairus Salim HS(peny), Tujuh Mesin Pendulang Suara, ( LKis, Yogyakarta, 1999,) hal 1
[5] Sigit Pamungkas, Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia), (Sleman, Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai,2011). Hlm,35

No comments:

Post a Comment