Thursday, September 21, 2017

Artikel : Premanisme Politik Dalam Pilkada


PREMANISME POLITIK DALAM PILKADA
Oleh : Khairul Ahmadi

      Premanisme Politik terkadang menjadi suatu hal yang sangat penting bagi kita agar lebih peka akan perpolitikan, bukan hanya sekedar untuk mnegtahuinya saja, tetapi premanisme politik memang suatu hal yang patut untuk diketahui oleh setiap orang. Kata-kata premanisme politik tidak terlepas dari arti preman dalam bahasa Belanda Vrijman yang berarti kebebasan, dan isme  berarti aliran. Jadi, premanisme politik lazim nya di interpretasikan sebagai perilaku kelompok dalam mendapatkan keuntungan/penghasilan berdasarkan hasil pemerasan. Mungkin kita sering melihat kejahatan-kejahatan menyangkut dengan pemerasanyang terjadi dilingkungan kehidupan kita, yaitu memintak pajak untuk pemuda kampung bagi setiap pedagang, kendaraan yang lewat, atau adanya pendatang ke suatu tempat, tetapi dalam penulisan ini berbeda, dalam penulisan ini melihat bagaimana kompleksitas perpolitikan yang berlangsung pra pilkada atau pun pasca pilkada/pemilu. Karena, premanisme politk kerap kali bermunculan dan menyebabkan masalah jiakala pemilu/pilkada akan dilaksanakan, dengan tujuan agar mendapatkan perhatian dari partai dan kandidat untuk bergabung dalam koalisi, terjadilah proses rekruitmen politik, dan premanisme politik dimanfaatkan oleh partai dalam mewujudkan strategi politik partai. Dengan begitu, kita bisa lebih berhati-hati jika berkecimpung dalam politik praktis, sehingga terhindar dari proses politik yang radikal karena bayaran yang tidak seberapa oleh partai.
      Konflik sosial yang berlangsung merupakan salah satu bentuk dari premanisme politik, teruntuk dalam proses menjelang pemilu/pilkada, loby politik terkadang menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah. Bagaimana tidak, menjelang pemilu/pilkada sudah menjadi hal yang lazim banyaknya individu atau kelompok yang mendatangi langsung kandidat calon untuk loby politik, rela melakukan apa saja untuk pemenangan calon asalkan mendapatkan pemberian dari si calon tersebut. Dalam pilkada aceh misalnya, diskusi-diskusi ataupun dalam tesis pilkada membahas bagaimana kondisi sosial menjelang pilkada, dan hasilnya sangat disayangkan, banyaknya nyawa yang melayang karena permasalahan pilkada tersebut (Dialoghabapilkada- Aceh Institute, 4/01/2017).
       Menurut Thomas R’Dye (2010),  konflik sosial terkadang menjadi strategi politik yang dilakukan oleh para elit, dalam pemilihan misalnya konflik berguna untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat, dengan ikut serta menyelesaikan setiap masalah yang ada, maka dengan spontan masyarakat akan terkesima hatinya, dan berkata dia layak menjadi pemimpin.
    Oleh karenanya, dengan penulisan ini diharapkan mampu menjadi bahan untuk penambahan wawasan akademik, bagi mahasiswa yang fokus dibagian politik khususnya, agar materi dan penerapan seimbang, sehingga dalam proses politik praktis kita paham apa yang harus dilakukan, paham bagaimana mengatasi permasalahan, dan paham membuat situasi aman.
       Politik dan pilkada menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan, pilkada merupakan manisfetasi dari nilai-nilai politik. Sesuai dengan defenisinya, poltik merupakan cara seseorang uuntuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional (Miriam budiarjo, 2002). Dalam prosesnya, politik kerap kali digunakan dengan menghalakan segala cara, terutama untuk mendapatkan kekuasan tentunya dengan sedikit bayaran orang-orang yang tergabung dengan tim pendukung rela melakukan apa saja, dan pasangan calon rela membayar orang untuk melakukan kejahatan, dan rela membayar untuk kecurangan (Money politic).
    Pilkada aceh telah terlaksana, kampanye kreatif merupakan alternatif bagi partai dan pasangan calon untuk mendapat simpatik masyarakat. Komisi Independen Pemilihan (KIP) telah menetapkan masa kampanye yaitu mulai tanggal 26 Oktober 2016 hingga tanggal 11 Februari 2017 (Kep. KIP No. 1/2016), para pasangan calon dan partai pun melakukan kreatfitas mereka dengan memasang spanduk, baliho, dan alat-alat kampanye lainnya, tentunya dicampuri dengan kata-kata seperti yang sering di pasang di pohon-pohon sehingga mendapatkan julukan pilkada dan kandidat pohon (RiskiJuanda, 26/12/2016).
     Dalam undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan setiap lima tahun sekali. Siklus lima tahunan itu kini sudah diambang mata. Dalam waktu dekat Aceh akan menylenggarakan kembali  pilkada secara serentak pada level provinsi dan 20 Kabupaten/Kota. Bagi Aceh ini adalah Pilkada yang ketiga, dan khusus Kabupaten Gayo Lues merupakan pilkada ke-4. Hingga saat ini ada 6 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh, rapat pleno penarikan nomor urut pasangan calon gubernur/wakil gubernur Aceh, di ruang sidang utama, gedung DPRA, Banda Aceh, Selasa 25 Oktober 2016 menetepkan Nomor urut 1: Tarmizi Karim-Machsalmina Ali, Nomor urut 2: Zakaria Saman-T.Alaidinsyah, Nomor urut 3: Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab, Nomor urut 4: Zaini Abdullah-Nasaruddin, Nomor urut 5: Muzakir Manaf-TA Khalid, Nomor urut 6: Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah.
    Dalam berbagai diskusi dan dialog mengenai kesiapan rakyat aceh dalam menjelang proses pilkada yang dilakukan pada tanggal 15 Februari 2017, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan terus mengajak agar  mampu menciptakan kondisi aman dan damai, serta berlangsung nya pemilu yang jujur, bersih, dan amanah (Diskusi Netralitas Kip, 05/01/2017).
     Konflik sosial dalam pilkada tidak terlepas konflik dan percekcokkan yang terjadi beberapa waktu silam di aceh. Permasalahan yang  terjadi tidak lepas dari pendukung masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di aceh, logikanya sangat tidak mungkin proses pilkada hingga menyebabkan konflik yang  berkepanjangan di aceh, padahal sejarah mencatat aceh merupakan daerah paling tinggi tingkat nasionalisme nya ketika ada masalah (Konflik aceh-indonesia), dengan suka rela bahu-membahu saling menolong dan bekerja sama, tetapi kehadiran pilkada di aceh menyebabkan hal yang sebaliknya.
       Mungkin inilah yang disebut dengan keretakan silaturahmi dalam pilkada, awal mulanya saudara tetapi menjadi saling tak sapa, awalnya kawan tetapi sekarang menjadi lawan, awalnya bekerjasama tetapi sekarang ssaling menjatuhkan, semua disebabkan oleh pilihan yang berbeda terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur aceh (muslim Ibnu Z,  30/12/2016).
     Premanisme politik dalam pilkada eksistensinya dapat dilihat dalam kondisi konflik dan aksi saling serang yang marak terjadi beberapa waktu lalu di aceh, mulai dari pembunuhan anggota timses partai, aksi saling serang anatara pendukung satu partai dengan partai lain, aksi teror berupa penembakan terhadap salahsatu rumah calon gubernur, dan masih banyak peristiwa dan kejadian lainnya yang terjadi menjelang pilkada aceh.
     Secara spesifikasi, ada hal yang harus dipertanyakan kepada orang-orang yang melakukan hal yang demikian, apakah itu merupakan rasionalitas pemikiran mereka ? atau itu adalah aksi bayaran, karna antara defenisi dari premanisme dengan aksi bayaran merupakan suatu hal yang relevan. Dan analisis sementara, aksi-aksi teror dan kriminalitas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu tidak lepas dari kepentingan untuk meraih keuntungan, dan momen pesta demokrasi merupakan momen yang sangat tepat untuk hal demikian. Undang-undang pasal 28 F ayat 3 (pasal 28) merupakan senjata bagi premanisme politik sebagai landasan utama untuk eksistensi mereka, dengan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat meereka manfaatkan untuk menarik perhatian dari pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, dengan menampakkan power dan kehebatan didepan para kandidat dan partai (Caper) , menuntut ataupun memuji kandidat dengan begitu dalam merupakan strategi untuk mendapatkan perhatian partai ataupun pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Dengan begitu ketika kelompok-kelompok tersebut melakukan loby politik kepada partai untuk prses rekruitmen politik dengan mudah bisa tercapai, tentunya tidak terlepas dengan beberapa tuntutan dan kesepakatan, dan inilah tujuan akhir dari kelompok-kelompok preman politik, memeras para kandidat dengan bergabung menjadi satu koalisi dan partai, memintak banyak bantuan dan anggaran dengan alasan untuk proses sosialisasi dan kampanye, padahal untuk meraih keuntungan, bahkan tidak itu saja terkadang kerap sekali terjadi penipuan, dengan memintak pertolongan kepada saudara, karib terdekat ataupun pendukung partai untuk membantu kandidat selama proses pilkada, namun uangnya tidak di implementasikan sesuai dengan apa yang direncanakan, melainkan untuk masing-masing pribadi kelompok preman politik yang memanfaatkan situasi.
     Masyarakat aceh misalnya, dengan kondisi political cultural yang parokhial (apatis) dan Kaula (ikut-ikutan), menyebabkan masyarakat aceh sangat mudah di kontrol oleh kandidat/partai politik pra pilkada aceh. Dengan menggunakan atas dasar persamaan sesama suku aceh (politik identitas), dengan spontan para pemuda maupun orang tua terkesima dan rela melakukan apa saja untuk partai yang didukung oleh mereka. Pada awalnya, mereka tidak pantas disebut dengan premanisme politik. Namun, berkat provokasi dan pujian yang di lontarkan para kandidat dan partai kepada mereka (Pemuda/orang tua), memancing emosional mereka agar lebih garang. “Mari kita lumpuhkan orang yang ingin mengalahkan kita” kata-kata tersebut merupakan deklarasi Kandidat dari partai PA (Muallem) beberapa waktu lalu yang dinilai sebagai bentuk diskriminasi dan pencemaran nama baik. Bukan hanya itu saja, kata-kata seperti “Usir mereka (orang aceh) yang tidak memilih kandidat dari partai aceh” dan kata-kata pencemaran nama baik seperti “apa yang terjadi jika aceh dipimpin oleh dokter hewan dan dokter bedah” (Deklarasi Partai Aceh, 13/08/2016). Sehingga tidak heran menjelang pilkada banyak sekali kejahatan-kejahatan atau perilaku yang membuktikan bahwa hal tersebut sebagai bentuk manifestasi dari  premanisme politik, seperti : penembakan pintu rumah calon gubernur tarmizi karim, pembunuhan anggota tim pemenangan salahsatu gubernur, sikap saling serang antara partai, dan lainnya.

Artikel : Pilkada Dan Politik Identitas

POLITIK IDENTITAS DALAM PILKADA
Oleh : Khairul Ahmadi

     Politik Identitas sering kali disebut sebagai bentuk dari strategi komunikasi politik yang dilakukan oleh actor politik, terutama dalam hal pemilu. Politik identitas diartikan sebagai aktivitas politik dalam arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari ‘kaum yang terpinggirkan’ dalam kondisi sosial, politik, dan kurtural tertentu dalam masyarakat. Dalam perjuangan politik, penggunaan identitas memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan (Cressida Heyes).
   Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan identitas dalam proses perpolitikan memberikan dampak yang signifikan dalam meraih tujuan dan rencana yang telah direncanakan. Bagaimana tidak, yang namanya identitas tidak terlepas dari unsur-unsur persamaan ras, suku, budaya, agama, kepercayaan, dan sebagainya. Atas persamaan tersebut terjadilah proses politik, dimana legitimasi itu sangat mudah diberikan oleh masyarakat kepada seseorang hanya dengan modal atas persamaan saja, tidak perlu memikirkan kapabilitas dan integritas seseorang tersebut, yang penting memiliki kesamaan, baik itu persamaan atas agama, suku, ras, budaya, dan sebagainya. Atas hal tersebut, maka semua proses yang berlangsung dikatakan sebagai politik identitas, karena adanya pemanfaatan kondisi dan situasi atas dasar rasa persamaan (Identitas).
   Politik identitas sangat berkaitan dengan proses pemilu/pilkada, dalam strategi komunikasi yang dipaparkan oleh Thomas R’dye dalam buku komunikasi politik, ia mengatakan bahwa yang namanya proses politik dalam pemilu tidak lepas dari cara untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat, dan mendapatkan legitimasi tersebut cukup dengan beberapa skenario yang mampu mendapatkan simpatik dan perhatian dari masyarakat. Dan poliik identitas merupakan senjata yang relevan untuk hal tersebut.
   Dalam proses pemilu, berbagai macam pernak-pernik kampanye kreatif yang dilakukan oleh partai-partai politik menyerang masyarakat, mulai dari spanduk unik, dan banyak nya baliho-baliho menjadi senjata andalan bagi partai politik untuk mengenalkan calon yang akan bertarung dalam pemilu untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat. Bukan hanya itu saja, bahkan dengan cara-cara blusukan dan memberikan bantuan langsung kepada masyarakat merupakan sesuatu yang lumrah disaat pemilu, hal itu dilakukan untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat agar si calon tersebut dikenal sebagai calon yang baik dan merakyat.
       Aceh misalnya, salahsatu daerah bagian Republik Indonesia yang akan melakukan pemilihan kepala daerah serentak, tepatnya pada tanggal 15 february 2017 mendatang. Hingga saat ini ada 6 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh, rapat pleno penarikan nomor urut pasangan calon gubernur/wakil gubernur Aceh, di ruang sidang utama, gedung DPRA, Banda Aceh, Selasa 25 Oktober 2016 menetepkan Nomor urut 1: Tarmizi Karim-Machsalmina Ali, Nomor urut 2: Zakaria Saman-T Alaidinsyah, Nomor urut 3: Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab, Nomor urut 4: Zaini Abdullah-Nasaruddin, Nomor urut 5: Muzakir Manaf-TA Khalid, Nomor urut 6: Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah.
      Pertarungan untuk mendapatkan bangku No 1 di Aceh mendapatkan sorotan yang tajam dari masyarakat luas, bukan hanya internal aceh saja, bahkan nasional dan internasional memantau pergolakan perpolitikan di aceh. Bukan karena meriahnya proses pilkada di aceh, tetapi sorotan itu didapatkan berdasarkan pertarungan politik yang terjadi antara masing-masing pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang merupakan sama-sama mantan pejuang GAM tersebut. Lalu apa yang menadi masalah ? Tentunya akan sedikit membingungkan jika politk identitas digunakan untuk kampanye, ketika semua kandidat mantan pejuang Gam mengatakan “Pilihlah Pemimpin yang merupakan orang yang telah berjuang di masa lalu untuk Aceh (GAM)”, bagaimana tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, rata-rata dari  Pasangan Calon Gubernur dan Waki Gubernur tersebut merupakan orang-orang pejuang aceh dahulu, dan mereka merupakan  petinggi-petinggi Gam. Seperti Halnya Irwandi menduduki posisi Staf Kusus Komando Pusat Tentara GAM sampai th 2001, Muzakir Manaf merupakan Panglima Gam, Zakarya Saman (Apa Karya) sebagai menteri pertahan Gam, dan Zaini Abdullah merupakan menteri luarnegeri perjuangan Gam dahulu.
     Tokoh-tokoh tersebut merupakan orang-orang yang berjuang sangat keras di masa konflik aceh tersebut (GAM). Kerja keras dan pengorbanan mereka patut di apresiasi. Sebagai bentuk perhatian pemerintahan Indonesia kepada aceh, kesepakatan hasil dari perundingan antara Indonesia dengan Aceh tahun 2005 lalu, maka Aceh diberikan keistimewaan yang tertuai dalam Undang-undang  Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salahsatu bentuk keistimewaan yang didapatkan oleh aceh adalah, berdirinya partai politik local di aceh, yang didirikan atas dasar persamaan dan nasionalisme rakyat aceh, sehingga partai tersebut dinamakan dengan Partai Aceh.
     Daftar anggota DPR Aceh periode 2014-2019 Partai Aceh mendapatkan 29 kursi, dan jumlah tersbut merupakan yang terbanyak mengalahkan partai-partai nasional yang kuat dan sudah lama berdiri. Banyaknya perolehan suara yang didapatkan partai aceh tidak lepas dari rasa persamaan sesama suku aceh, dengan menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan sejarah perjuangan Gam dahulu, maka rakyat aceh rata-rata memberikan suaranya utuk kandidat yang di usung dari partai aceh tersebut.
    Dan 15 February 2017 mendatang aceh akan melaksanakan pilkada serentak, hingga mendekati hari puncaknya, saat sekarang ini strategi partai-partai politik yang bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh semakin sengit dan menarik. Tidak hanya penggunaan spandu, baliho dan sarana prasaran unik lainnya, tetapi nilai-nilai persamaan Identias juga menjadi senjata andalan bagi partai politik.
      Parta Aceh misalnya, calon kuat yang di usung adalah Muzakir Manaf- TA.Khalid dari beberapa waktu silam hingga sekarang sangat jelas sekali penggunaan identitas sebagai salah-satu strategi politik mereka. Sesuai dengan defenisinya, politik identitas dikatkan sebagai pemanfaatan kondisi untuk kepentingan politik dan hal tersebut dilakukan oleh partai aceh.
   Sebagai bukti konkritnya dapat ditelaah berdasarkan beberapa penyampaian-penyampaian yang berisikan seruan dan ajakan untuk memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur serta para Bupati yang diusung dari Partai Aceh. Seperti halnya deklarasi partai aceh pada tanggal 13 Agustus 2016 di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Muzakir Manaf mengatakan bahwa kita patut mengenang sejarah, kita harus tetap dijalur yang sama, kita tidak boleh seperti mereka yang keluar dari partai yang kita bangun atas persamaan identitas kita hanya karena untuk mendapatkan kekuasaan, dan kita harus memperjuangkan orang-orang yang tergabung dalam Partai yang kita bangun atas perjuangan kita (Partai Aceh) agar kita tetap berada dalam satu wadah untuk pembangunan Aceh. Selain itu, juru bicara KPA Muhammad Jhony tetap menghimbau kepada Rakyat Aceh, agar terus bersatu dengan Partai Aceh pada Pilkada kali ini. “Kita masih memikul beban yang teramat besar, yang tidak mampu difahami oleh pihak mana pun, karena partai perjuangan tetap PA dan perjuangan ini belum membuahkan apapun, karena selama inj, pujuk pimpinan Aceh masih ditangan yang salah,”
       Banyak sekali seruan dan ajakan yang berlandaskan persamaan dan identitas untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat (Politik identitas), hal itu bertujuan agar partai yang dibangun atas perjuangan yang begitu besar (Partai Aceh) disia-siakan begitu saja dengan tidak mendukung calon-calon yang di usung oleh partai aceh tersebut. Terutama untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, deklarasi demi deklarasi terus disampaikan agar rakyat aceh memilih kandidat dari partai aceh.
       Dan pada dasarnya, penggunaan politik identitas sebagai alat untuk pemilu sangat memberikan pengaruh yang signifikan, karena rakyat aceh sangat kental agan rasa persatuan dan kesatuanya, dengan menjunjung tinggi jiwa nasionalisme rakyat aceh, maka mereka tidak akan ragu-ragu memberikan kepercayaan kepada orang yang satu persamaan dengan mereka. Partai Aceh misalnya, merupaka wadah penampungan aspirasi masyarakat aceh, orang-orang akan rela melakukan apa saja untuk berjuang demi partai aceh. Penggunaan persamaan identitas sebagai alat politik juga berdampak baik bagi rakyat aceh, semari melatih kekompakan, hal ini juga sebagai alat untuk terus merapatkan saf agar rakyat aceh selalu bersatu untuk berjuang menciptakan perubahan.

 Tulisan Ini telah di muat oleh salahsatu media online, Cek Link Berikut :
http://www.atjehupdate.com/pilkada-dan-politik-identitas/3586/

Makalah Tipologi Gerakan Islam

Tipologi gerakan islam dan Politik

Nahdlatul Ulama
Oleh :Khairul Ahmadi

MAKALAH "Peran Partai Politik di Indonesia"

SISTEM PEMERINTAH
MAKALAH
(Peran Partai Politik Di Indonesia)
 
Oleh : Khairul Ahmadi



Analisa Perbandingan Demokratisasi Vietnam dan China

“Perbandingan Demokratisasi Vietnam dan China ( EFEK DOI-MOI VIETNAM 1987 DAN REFORMASI EKONOMI CHINA 1978)”

       Vietnam dan China, berbicara mengenai dwinegara yang masing-masing mempuanyai sistem dan idiologi yang sama, yaitu sama-sama komunis. Walaupun dengan sistem komunis nya, namun dalam praktek nya dinilai adanya demokratisasi. Bagaimana tidak, rezim pemerintahan Vietnam misalnya yang memulai membatasi lengkah dan kekuasaan partai komunis negaranya (Vietnam Comunis party) semenjak reformasi pada tahun 1987 merupakan proses transformasi legitimasi berdasarkan indicator demokrasi non-institusional untuk mencapai cita-cita Negara yang mewujudkan distribusi pendapatan yang merata, agar masyarakat hidup dengan sejahterah. Pada awalnya rezim pemerintahan Vietnam melarang campur tangan investor untuk proses pembangunan, namun pasca reformasi para investor dipersilahkan untuk berinvestasi di Vietnam guna untuk meningkatkan pendapatan perkapita ekonomi masyarakat Vietnam yang dinilai mulai tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya.
    Namun berbeda dengan China, yang menjunjung tinggi akan nila-nilai komunis dan idiologi sosialis nya. Dengan meletakkan Negara sebagai actor utama dalam pembangunan perekonomiannya. Pada saat itu rezim partai komunis china memimpin (CCP) dengan statement nya yang mengatakan bahwa industrialisasi menjadi prioritas utama, dengan mengontrol sebagian besar sektor ekonomi maka sumber ekonomi di fokuskan untuk membangun pabrik-pabrik industri. Masyarakat pedesaan diperintahkan untuk pindah ke kota, pada akhirnya kenyataan tidak sesuia dengan harapan, rezmi pemerintahan saat itu berharap dengan industry pabrik dapat memakmurkan masyarakat, namun realita nya sangat bertola-belakang dengan apa yang di harapkan, pada akhirnya masyarakat banyak yang kelaparan karena minimnya partisipasi di sektor pertanian. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka revolusi terjadi di china pasca reformasi 1978.
Berikut perbandingan proses Demokrasi Vietnam Dan China :
     Seperti yang telah diketahui, bahwa Negara Vietnam dan China merupakan Negara di bawah rezim authoritarian yang menghadapi persoalan ketertinggalan kemudian melakukan reformasi. Dengan adanya reformasi memungkinkan adanya keterbukaan dan kebebasan individu untuk berpatisipasi dalam ekonomo. Memang pada dasarnya Vietnam dan China merupakan realitas kasus Authoritarian Capitalism, dimana Negara dengan rezim authoritarian menerapkan sistem kapitalis. Kapitalis yang diasosiasikan dengan demokrasi menekankan kebebasan (Freedom) yang rasional nya bertolak belakang dengan rezim authoritarian yang mengontrol segala aspek kehidupan masyarakat dibawah kekuasaan absolute, sedangkan demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, dan pemerintah hanya sebagai penyelenggara kebijakan.
        China pra reformasi, bermula pada tahun 1949 pemerintahan sosialis china menerapkan strategi pembangunan industry berat , dimana pemerintah mengontrol segala pembangunan ekonomi masyarakat dengan membangun pabrik-pabrik. Kesalahan yang fatal pun terjadi, masyarakat diperintahkan untuk pindah ke kota, pada akhirnya kelaparan merajalela karena partisipasi masyarakat dibidang pertanian sangat minim sekali. Pada akhir tahun 1960 shina terjebak dalam bencana ekonomi dan kemanusiaan, dan strategi Mao Ze Dong dianggap gagal. Pada tahun 1961 dengan berakhirnya rezim Mao Ze Dong yang digantikan dengan kepemimpinan Xiaoping, maka segala kebijakan pun berubah dan hak petani dikembalikan, dibuka kembali sektor privat, kebebasan-kebebasan yang lebih besar diberikan pada sektor produksi, dan investasi di kurangi, hal ini lah sebagai awal mulai terjadinya reformaso ekonomi di china.
        Pada tahun 1978 terjadilah reformasi china, awal mula pergerakan oleh kelompok petani di desa xiaogang provinsi Anhui. Pasca reformasi menyebabkan peningkatan ekonomi yang berat, namun permasalahan yang timbul yaitu permasalahan sistem desentralisasi yang diterapkan serta pengaturan zona ekonomi khusus yang menghantarkan china pada ketimpangan ekonomi antara daerah pantai dengan wilayah pedalaman. Desentralisasi dinilai melemahkan para petani pedalaman yang dibiarkan begitu saja mengatur daerahnya sendiri, karena dengan sistem desentralisasi menyebakan lahirnya raja-raja (penguasa) kecil di masing-masing daerah. Akibat polemic inilah sebagai bentuk terjadinya demokratisasi, karena pada tahun 1989 ribuan mahasiswa berunjuk rasa dengan aksi mogok makan di lapangan Tiananmen.
    Kondisi Vietnam pra reformasi tidak jauh berbeda dengan China. Pra reformasi VCP mengeluarkan kebijakan Land reform “mengkolektivitasi seluruh lahan”. Bukannya memberikan manfaat dan meningkatnya pembangunan, namun menyebabkan keterpurukan serta terjadinya krisis legitimasi masyarakat terhadap rezim pemerintahan.

        Namu pada tahun 1986, terjadilah reformasi Vietnam. Yang di komandoi oleh Partai Komunis Vietnam. Dalam agenda Doi Moi (Renovasi), peningkatan kesejahteraan masyarakat akan diupayakan melalui usaha-usaha unit kecil masyarakat, dan investor dipersilahkan untuk membantu proses pembangunan, serta menganut sistem desentralisasi. Pada akhirnya, tahun 1995-2001 sebagai periode kebangkitan pembangunan dan ekonomi Vietnam.

Sebuah Tulisan tentang kontribusi Militer dalam Lingkar Politik Praktis

Militer Dalam Lingkar Politik Praktis
Oleh Khairul Ahmadi*
Dinamika pertarungan politik menjadi salahsatu wadah sinergisitas militer dalam menciptakan suasana iklim politik yang stabil. Bukan hanya sekeder dongeng atau retorika, Sejarah mencatat bahwa militer mempunyai masa dimana eksistensinya sebagai kekuatan politik yang pengaruhnya sangat besar di dalam proses politik yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa pengaruh militer sangatlah besar dalam menentukan arah kebijakan politik dan juga mengatur arah kehidupan masyrakat. Militer menjelma sebagai kekuatan politik yang mendukung dan mempertahankan kekuasaan penguasa, bertujuan untuk menjaga, menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik. Keterlibatan militer dalam politik ini nantinya menunjukkan identitas yang berbeda antara militer dengan aktor-aktor politik lainnya.
Dalam gagasan filsuf kuno, dijelaskan secara real bagaimana keterlibatan militer dalam politik. Ialah seorang Socrates yang mengandaikan sebuah pemerintahan terbaik, dalam pemikirannya tersebut dia membagi pemerintahan sebanyak lima jenis mulai dari tingkatan yang terbaik sampai dengan yang terburuk. Berkaitan dengan militer, ternyata Socrates mengkategorikan pemerintahan yang dipegang oleh militer adalah nomor dua yang terbaik. Rezim timokrasi dikategorikan sebagi rezim yang diperintah oleh mereka yang menyukai akan kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit. Selain itu rezim ini diwarnai dengan semangat (Surbati, Ramlan 2010: 32).
Pada dasarnya militer dibekali dengan peran hanya untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat sipil maupun keamamanan negara, terlihat jelas dalam pernyataan Panglima Besar Jendral Soedirman di Yogyakarta pada Mei 1946 yang mengatakan “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselematannya. Keteguhan militer dalam hal ini nyaris terhenti dan mulai menunjukkan sikap baru. Sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkan.
Banyak pro dan kontra terkait tupoksi militer tersebut yang hanya demikian saja, harus diingat pula, stabilitas politik dalam sebuah negara tidak cukup dipertahankan oleh elit politik saja, profesionalitas tentara juga tidak bisa diragukan begitu saja, bahkan politik dan kemiliteran merupakan hal yang relevan, yaitu sama-sama berkaitan dengan komitmen prinsip perjuangan yang “maju tak gentar membela yang benar” atau “Bersatu teguh untuk kesejahteraan kita, keluarga, dan negara” tanpa ada rasa gundah dan mudah menyerah, dan sikap kepemimpinan militer yang takkan mau menyerah sebelum nyawa tiada juga merupakan dasar pribadi yang menunjukan profesionalitas kemiliteran yang sangat diperlukan dalam proses menciptakan stabilitas perpolitikan di daerah ataupun negara.

Masuknya militer dalam dunia politik dapat dikatakan atas suatu dorongan dari sebuah situasi atau keadaan. Militer campur tangan dalam politik karena beberapa faktor, yaitu: keadaan, dicemooh dan dipojokkan oleh elite sipil secara tidak wajar, kegagalan pemimpin dan elite sipil dalam melaksanakan tugasnya, dipengaruhi dan ditarik ke arena politik, dan dijadikan alat kekuasaan politik (Fattah, Abdoel 2005: 2).
Giddens mengatakan bahwa peranan militer dalam politik merupakan sebuah bentuk struturasi. Atau bisa dikatakan sebagai third way (tengah). Pendekatan ini lebih menekankan pada keberadaan struktur dan aktor di sebuah pembabakan zaman, karena dia melihat perkembangan masyarakat itu pasti dinamis dan selalu bergerak. Tidak seperti teori struktur ataupun aktor yang lebih mempertahankan status quo dari sebuah masyarakat. Giddens dalam teori strukturasi menjelaskan bagaimana peranan militer dalam politik dapat dikatakan sebagai aktor dan agen. Dapat dikatakan aktor ketika struktur politik tersebut mempunyai pengaruh yang besar serta menentukan setiap tindakan aktor. Sedangkan dikatakan sebagai agen adalah ketika kekuatan politik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap struktur politik.
Indonesia misalnya, profesionalitas tubuh militer dalam politik sebenarnya dimulai dari kebijakan dalam kabinet Mohammad Hatta, saat itu Perdana Mentri Hatta membuat kebijakan RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara). Kebijakan itu bertujuan untuk mengefisiensikan anggaran dan juga berusaha mematangkan organisasi ketentaraan. Karena pada dasarnya pembentukan tentara di Indonesia dengan negara lain sangatlah berbeda. Ketentaraan pembetukannya tidak dipersiapkan dengan matang, melainkan ada karena tuntutan dalam mempertahankan kedaulatan negara. Adanya RERA berusaha untuk menyeleksi laskar-laskar dan komponen masyarakat agar sesuai dengan standarisasi organisasi ketentaraan yang dibentuk. Selain itu adanya kebijakan RERA juga berusaha untuk memprofesionalkan tentara agar tidak ikut-ikut dalam dunia politik dan setia terhadap supremasi sipil. Hal itu sesuai dengan cita-cita Panglima Besar Jendral Soedirman, yang menginginkan ketentaraan yang netral dan tidak ikut campur dalam politik, hanya setia terhadap ideologi negara dan bangsanya.
Pasca diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Indonesia memasuki masa demokrasi parlementer. Saat itu supremasi sipil benar-benar dijalankan, tentara dapat dikatakan di bawah kendali pemerintahan sipil yang terdiri dari berbagai partai yang ada dalam parlemen. Akan tetapi awal masuknya ke dalam demokrasi parlementer tentara juga kehilangan sosok yang paling berwibawa yaitu Panglima Besar Jenderal Soedirman. Tokoh tersebut merupakan sosok yang mendudukan adanya supremasi sipil terhadap tentara. Hal itu terbukti ketika pada perang kemerdekaan TNI di bawah Jendral Soedirman mampu memenuhi tugasnya setia pada keputusan pemerintah sipil.
Kondisi menjadi tidak tentu arah, akibat kematian Jenderal Soedirman, saat itu tentara di bawah pimpinan A.H Nasution melihat adanya ketidakstabilan dan tidak sehatnya parlemen. Setidakmya ada beberapa alasan terkait dengan pandangan Nasution. Pertama, demokrasi parlementer yang terdiri dari berbagai partai dengan perbedaan ideologi membuat negara tidak dijalankan secara konsisten dan program jangka panjang tidak berjalan dengan baik. Kedua, Hal itu semakin diperparah dengan adanya cemoohan dari anggota parlemen yang sebagian merupakan orang-orang yang pro pemerintahan federal Belanda yang merupakan musuh TNI dalam perang kemerdekaan tahun 1945-1949. Ketiga, adanya campur tangan sipil terhadap urusan ketentaraan, satu hal yang jelas: tentara tidak mau diperalat oleh kekuatan politik dan urusan internal dicampuri oleh politisi sipil, karena mereka mementingkan otonomi dan eksklusivitas menyangkut fungsinya (Nordlinger 1990: 70).
Akibat dari peristiwa tersebut, timbullah protes terhadap kondisi ini, hal itu tertuai dalam aksi yang di pimpin oleh TNI pimpinan Nasution dengan dukungan rakyat pada tanggal 17 Oktober 1952. Letnan Jendral Sayidiman (1997: 161) menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober 1952, pada hakikatnya mencerminkan sikap tentara yang hendak memainkan peran politik melawan parlemen yang dianggap mengacau keadaan dalam negeri, khususnya para anggotanya yang dalam perang kemerdekaan ikut Belanda. Menurut Nasution peristiwa ini sebagai upaya “anak mau mengutarakan isi hati kepada bapak” (Stanley Adi Prasetyo & Toriq Hadad 1998: 301).
Setahun setelah aksi demonstrasi yang dilakukan tentara pada tanggal 17 Oktober 1952, atas hal tersebut Presiden Soekarno mengomentari aksi tersebut yang tertuang pada pidato kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1953. Dalam pidatonya Soekarno mengatakan: “Hai, tentara dan polisi dan rakyat perlipatgandakanlah usahamu membasmi pengacau-pengacau itu. Segala jalan harus dilalui, kalo kata-kata saja tidak dapat menyehatkan jiwa yang keblinger, apa boleh buat turunlah senjata berbicara satu bahasa yang lebih kuat lagi. Padahal angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan perang harus berjiwa,Ya berjiwa, berapi-api, berkobar-kobar tetapi dia tidak boleh ikut-ikut politik”.
Pidato dimaksudkan agar tentara tetap dijalurnya yaitu fungsi sebagai alat pertanahan negara dan urusan kenegaraan diserahkan pada para politisi sipil. Praktis keterlibatan tentara dalam politik hanya sebagai aktor yang tunduk pada kekuatan infrastruktur atau kebijakan politik.
Sebenarnya Masuknya tentara dalam politik tersebut dilegitimasikan oleh konsep yang dibuat A.H Nasution yaitu “jalan tengah tentara”. Konsep yang dimaksudkan tersebut adalah memberi tempat kepada anggota tentara untuk ikut serta dalam pembinaan negara, tapi tanpa mendominasi. Dengan model itu, tentara tidak akan mengambil alih kekuasaan, tapi akan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk menentukan nasib bangsa (Fattah, Abdoel 2005: 106).
Nasution mengibaratkan tidak ikut sertanya tentara dalam pembinaan negara adalah seperti menyumbat gunung berapi, yang pasti suatu waktu akan meledak (Salim Said 2002: 21). Kemudian masuknya tentara dalam politik ternyata menurut Nasution juga dilandasi oleh de jure, seperti perkatannya yang mengatakan: “Dengan kembali ke UUD 45, terbukalah jalan guna membina kemantapan cita-cita kemerdekaan semula, guna mempersatukan kembali satuan-satun perjuangan, dan guna mendasari politik pemulihan keamanan yang amat mendesak dewasa itu. Kembali ke UUD 45 ini memungkinkan kemantapan ideologi dan kepemimpinan dan memungkinkan pemberiaan posisi formal bagi TNI sebagai “golongan” (pasal 2 UUD).
Namun Pada akhirnya penilaian terhadap kualitas militer yang dianggap mampu menciptakan stabilitas politik ternyata hanya sekedar pasir yang hilang tertiup angin begitu saja. Hingga saat ini militer secara tegas dilarang untuk terjun ke dunia politik, hal tersebut diperkuat dengan UU TNI No 34/2004, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan bahwa: “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 47 Ayat 1 disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Tulisan Ini Telah Terbit di Salahsatu Media Online, Cek Link Berikut :
http://www.acehtrend.co/militer-dalam-lingkar-politik-praktis/

Artikel Polemik Pencabutan Dua Pasal UUPA


Wakil Rakyat, Jangan Tidur Saat Sidang Soal Rakyat
Oleh Khairul Ahmadi*)

Terkait polemik pencabutan dua pasal UUPA akibat kelalaian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang ada di Senayan kembali menyayatkan luka yang cukup mendalam bagi 5,2 juta rakyat aceh. Harapan besar yang disuguhkan kepada wakil rakyat Aceh tersebut ternyata bagaikan mengukir di atas air. Bagaimana tidak, UUPA yang merupakan jerih payah perjuangan masyarakat aceh, tidak tanggung-tanggung satu pasal dalam rangkaian UUPA setara dengan 1 nyawa masyarakat Aceh. (Red-sejarah perjuangan)
Sedikit catatan penting dari hasil FGD (Focus Gruoup Discusion) di ruang rapat Rektor Unsyiah, turut di hadiri Rektor Unsyiah, Ketua Banleg DPRA, Ketua komisi 1 DPRA, Ketua KIP, Ketua Panwaslih, dan undangan lainnya (Jum’at, 27/7). Mengangkat tema tentang polemik UU Pemilu yang baru disahkan, dan juga polemik pencabutan dua pasal dalam UUPA. Bagaikan ibu-ibu yang sedang merumpi, para peserta FGD tersebut menanggapi dan sangat menyangkan pernyataan salahsatu dari anggota dewan RI Asal Aceh yang ada di Senayan. Nasir Djamil yang merupakan salahseorang tokoh yang cukup populer dan merupakan wakil rakyat Aceh yang ada di Senayan, akibat pernyataannya yang mengatakan “Dirinya bukan tidak tahu terkait pencabutan dua pasal UUPA, tapi tidak dilibatkan dalam pansus RUU pemilu sehingga tidak tahu”, kabar tersebut menjadi trending topik serta menjadi referensi bagi media dan masyarakat untuk menilai sejauh mana profesionalitas dan rasa tangnggung jawab para wakil rakyat aceh tersebut.
Akibatnya, celetukan bernada sinis pun dikemukakan oleh salahsatu peserta FGD, Zulfikar mengatakan “Apa saja yang mereka lakukan? Ada 17 orang di sana (13 orang DPR RI dan 4 anggota DPD), kok tidak tahu. Kalau kami di Aceh menyatakan tidak tahu ya wajar. Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa diharapkan kepada wakil-wakil kita,” jar Zulfikar.
Silih berganti, celutukan bernada sinis yang dikemukanan terus mengalir. Ketua komisi 1 DPRA turut andil perihal ini. Ia mencoba meredakan bara api yang mulai menyala, setelah membuat kondisi menjadi lebih tenang, Iskandar Usman juga tak lupa menyampaikan bahwa sekitar tiga bulan lalu, ketika UU Pemilu belum disahkan, banleg komisi 1 DPRA datang ke Jakarta dengan maksud untuk mempertanyakan masalah pembahasan RUU pemilu. Tapi, tak satupun anggota DPR RI Asal Aceh yang mau menjumpai rombongan DPRA, dengan alasan sibuk akan tugas-tugar yang banyak, dan saking sibuknya para wakil kita tidak tahu atas pencabutan 2 pasal tersebut, bahkan memberikan kritik dan saran kepada fraksi saja mereka tidak sempat.
Perlu kita ketahui, sejarah yang terukir jelas akan perjuangan masyarakat aceh yang dilakoni oleh GAM (gerakan Aceh Merdeka) dalam proses lahirnya Mou Helsinky dan juga UUPA pada masa itu janganlah dianggap sebagai catatan singkat seorang pelawak, yang penuh akan kata-kata yang bisa membuat kita tertawa. Maih terlalu banyak kisah pilu yang sangat menyayat hati bagi korban keluarga yang saat ini masih bernafas jika mengingat kisah nan lalu, bak kata “bagaikan luka yang ditaburi garam” sungguh sangat perih. Kekejaman dan perilaku yang membabi buta pada masa itu membuat keluarga korban hingga saat ini tidak bisa melupakan begitu saja kejadian nan lalu. Bagaimana tidak, korban di tembak dan dibunuh dengan kejam di depan mata keluarganya sendiri, penyiksaan, dan juga perilaku yang tidak senonoh acap kali dilakukan oleh diktator pada masa itu.
Kita tidak bisa melupakan begitu saja peristiwa-peristiwa penting pada masa itu, salah satunya Tragedi Idi Cut, dikenal luas dengan nama Tragedi Arakundo, merupakan sebuah peristiwa pembantaian sipil yang terjadi tanggal 4 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh, Indonesia. Pada tanggal 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Nurussalam, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan pentas kegiatan di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB, sejumlah tentara datang dengan membawa senjata laras panjang. Penduduk setempat menduga mereka anggota Koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang saat itu sedang berada di sekitar tempat pembuatan pentas. Aparat pun membabi buta, Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka. anyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara. Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan. (Serambi Indonesia 14/2/1999).
Dan kita masih dihantui dengan Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh, yang merupakan peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe, Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak. Sebuah monumen didirikan di tempat penembakan Simpang KKA, desa Cot Murong, Lhokseumawe.
Begitu menyanyat luka yang mendalam bukan ? hal di atas merupakan sebahagian dari perisitwa yang terjadi. Masih banyak lagi peristiwa-periwtiwa yang terjadi masa itu, diantaranya : Insiden Alue Nireh, Insiden Krueng Tuan, Insiden Lhok Nibong, Insiden Sama Dua, Tragedi Beutong Ateuh, Tragedi Gedung KNPI Aceh Utara, Tragedi Kandang, Tragedi Peudada, Tragedi Rumoh Geudong, Tragedi, Tragedi Bumi Flora, Tragedi Relawan LSM RATA. Sampai pada akhirnya, konflik aceh dinobatkan sebagai salahsatu daerah paling banyak mengalami pelanggaran HAM di dunia.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia Pemerintah Indonesia dan GAM berhasil mencapai kesepakatan damai. Kedua belah pihak kemudian menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) bagi terwujudnya masa depan Aceh yang damai dan sejahtera. Penandatanganan MoU di Helsinki ini menandai berakhirnya konflik yang telah melanda Aceh selama lebih 30 tahun.
Salah satu implementasi penting dari kesepakatan damai (MoU) tersebut adalah penyusunan Undang-undang baru mengenai Pemerintahan Aceh. Sebagai Provinsi, Aceh akan diberikan status otonomi yang luas dan pemerintahan sendiri (self government). Atas inisiatif DPRA yang difasilitasi oleh Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia, dimulailah proses perumusan Undang-undang Pemerintahan Aceh tersebut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat Aceh.
Apalagi Pasal 1 ayat 1 MoU Helsinki menyebutkan Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh (PPA) merupakan perangkat hukum penting untuk membangun Aceh yang baru, yakni Aceh yang damai, berkeadilan, demokratis, menghormati HAM, moderen dan makmur tanpa mengenyampingkan tradisi, sejarah, adat istiadat dan tata kelola pemerintahan yang baik. MoU tersebut juga mengamanatkan agar UU tentang Pemerintahan Aceh tersebut dapat mengatur hal-hal pokok seperti tata hubungan antara pemerintah pusat dengan pemrintah Aceh, partisipasi politik termasuk pembentukan Partai Politik Lokal, pembangunan ekonomi, penegakan HAM, prinsip-prinsip reintegrasi termasuk sumber dan pengelolaan dana integrasi dan akuntabilitas penggunaannya, pengaturan keamanan serta penegakan hukum termasuk di dalamnya membangun sistem keadilan terpadu (Integrated justice system). Mou Helsinky dan UUPA merupakan hasil jerih payah dari perjuangan pejuang Aceh. Butiran pasal demi pasal diibaratkan sama harga dengan satu nyawa, karena pasal-pasal tersebut lahir dengan darah juang masyarakat aceh (GAM).
Berdasarkan serangkaian catatan peristiwa di atas, masih tegakah para wakil rakyat tidak serius mengemban amanah 5,2 juta rakyat aceh? Bukan hanya untuk wakil rakyat di DPR RI saja yang sekarang tengah mengalami krisis legitimasi dari masyarakat akibat kelalaian mereka terkait polemik pencabutan 2 pasal UUPA dan permasalahan lainnya, tetapi juga untuk wakil rakyat di DPRA sendiri juga seharusnya tetap mengingat sejarah perjuangan pejuang masa itu, bukan maksud mengajari atau seolah-olah penulis lebih merasakan pahitnya perjuangan dahulu, tetapi kondisi aceh sendiri saat ini tengah memprihatinkan. Bagaimana tidak, berlimpahnya anggaran tidak membuat rakyat sejahterah, bahkan menempatkan aceh mendapatkan prestasi sebagai salahsatu daerah tertinggal dan tersmiskin terbesar di Indonesia.
Terkait polemik pencabutan 2 pasal UUPA sendiri juga harus diselesaikan secara bersama, bagaikan bertempur di medan perperangan, kerja tim yang solid takkan mengkhiantai hasil. Jika Yusril Ihza Mahendra dengan “sendirinya” berani mengajukan gugat penolakan UU pemilu dan juga mengajukan Uji materi, kenapa wakil rakyat Aceh yang terdiri 13 anggota DPR dan 4 anggota DPD tidak mencoba melakukan hal yang sama.
5,2 juta masyarakat aceh tengah menunggu upaya dari wakil mereka, apakah wakil-wakil rakyat Aceh di sana memiliki kapabilitas dan tingkat profesionalitas yang tinggi sehingga kehadiran mereka di senayan turut dipertimbangkan, atau sebaliknya. Jika mendengar pernyataan berikut “Wakil rakyat Aceh bukan tidak tahu polemik pencabutan 2 pasal UUPA, tetapi karena tidak diikut sertakan dalam pansus RUU” dan pernyataan Ketua komisi 1 DPRA, Iskandar Usman “Padahal sebelumnya rombongan DPRA mengajak wakil rakyat di senayan untuk bertemu dan membahas UU pemilu tersebut” atas pernyataan-pernyataan tersebut maka 5,2 juta rakyat aceh mulai meragukan kapabilitas wakil mereka yang ada di senayan.
Sebagai mahasiwa, penulis merasa geram dengan hal ini, ingin rasanya menghibur para wakil kami yang telah lelah bekerja untuk memperjuangkan hak rakyat aceh, tidak hanya di DPRA saja, melainkan wakil rakyat aceh yang ada di Senayan sana. Mungkin dengan sejumlah garda perkumpulan mahasiswa berdiri di jalan, sembari menyanyikan lagu “:Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat” menjadi hiburan bagi wakil rakyat yang terlalu lelah bekerja memperjuangkan hak-hak 5,2 juta rakyat aceh, dan Hal tersebut juga bukti rasa cinta kami (mahasiswa) kepada wakil-wakil kami (rakyat Aceh).
Dan dalam kondisi itu, kami tidak hanya berharap penyelesaian polemik pencabutan 2 pasal UUPA, melainkan permasalahan-permasalahan lainnya yang ada di bumoe Aceh ini. Karena dengan bersatu kita teguh, sulitnya permasalahan juga akan runtuh. Semoga kita mampu berbuat untuk Aceh jaya, Aceh bermartabat.

Tulisan Ini telah terbit di salahsatu media online, cek link berikut :
http://www.acehtrend.co/wakil-rakyat-jangan-tidur-saat-sidang-soal-rakyat/

Dinamika Politik dan Perubahan Sosial


Dewasa ini sikap sinisme politik semakin pekat menyelimuti kehidupan perpolitikan. Dinamika yang berkembang pesat menyebabkan pro kontra yang sangat signifikan, yang menyebabkan sikap anti-politik dan cinta akan politik menjadi rivalitas yang begitu menohok dalam dunia perpolitikan.
Kehidupan Politik sebenarnya sebagai proses perwujudan perubahan yang cepat. Bagaimana tidak, politik adalah senjata yang tepat untuk menghancurkan kemiskinan dan ketimpangan. Seperti yang dinyatakan oleh Ambrose Bierce, politik sendiri melibatkan suatu pertemuan antara kepentingan-kepentingan dan asas-asas yang berkonflik. Kelompok-kelompok terorganisir tawar-menawar berkompromi untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka. Digerakkan oleh keinginan pragmatik untuk sukses, para politisi bisa melanggar asas-asas moral dalam pengejaran kepentingan-kepentingan mereka. Oleh karenanya, menurut Ambrose Bierce sendiri, semakin banyak kelompok yang berkonflik dalam hal meraih kepentingan kelompok, maka semakin banyak keuntungan yang didapat. Karena konflik tersebut akan melahirkan kesepakatan-kepakatan yang saling menguntungkan masing-masing kelompok dan juga masyarakat.
Melansir dinamika politik yang ada di Amerika Serikat dan Eropa, politik ditandai dengan adanya pemilihan. Konflik yang berkepanjangan melibatkan beberapa organisasi partai dalam proses merebut kekuasan, dijadikan sebagai bahan tolok ukur untuk menandakan bahwa politik saat itu sedang di puncaknya atau tidak diminati sama sekali. Timbulnya konflik dalam medan peperangan disebabkan oleh adanya tujuan-tujuan dan kepentingan kelompok yang berbeda. Kekuasaan yang diraih tentu akan memberikan dampak yang sangat menguntungkan bagi pemenang, mengingat kekayaan sumber daya alam yang melimpah, proyek-proyek pembangunan, dan juga bantuan-bantuan sosial terhadap masyarakat berada di tangan sang pemilik kekuasaan. Oleh karenanya, tidak heran jika dalam prosesnya hal-hal menyimpang kerap dilakukan demi kekuasaan, politik yang didalihkan sebagai “win win solution”menjadi politik yang menghalakan segala cara. Walaupun setelah mendapatkan kekuasaan kepentingan rakyat tetap diutamakan. Namun, politik sehat, cerdas dan berintegritas merupakan hal yang harus diterapkan oleh para politisi, karena sesuatu hal di mulai dengan cara yang baik, akan mengahasilkan hal-hal yang baik jua. (Thommas Hobbes 1588-1956)
Kehidupan politik sendiri terbagi atas beberapa sub-sub yang di dalamnya tersirat kiat untuk menciptakan perubahan sosial dengan skala yang cepat berdasarkan pembangunan, pengalokasian anggaran yang tepat sasaran. Politik sendiri bukan hanya berkaitan dengan kepentingan pribadi dan kekuasaan, melainkan asas-asas moral dengan nilai-nilai yang abstrack seperti kepentingan nasional, kesejahteraan umum, kemaslahatan bersama, kehendak umum, dan kehormatan sosial. Proses loby dan perdebatan kesepakatan merupakan langkah untuk terciptanya kemaslahatan bersama, dan celakanya hal ini dikatakan sebagai kepentingan pribadi oleh publik. Namun bukan kesalahan juga jika banyaknya pernyataan-pernyataan buruk tentang semua kegiatan politik. Bagi politisi hal itu merupakan bahagian dari strategi untuk mendapatkan kesepakatan yang sesuai dengan yang diharapkan, proses perdebatan menyebabkan para politisi harus pandai berdalih dan memainkan logika yang dicampuri dengan pernyataan yang terkadang bertolak belakang dengan fakta, hanya untuk tercapainya tujuan utama. Karena dengan begitu, harapan-harapan yang sudah terpeta dalam benak fikiran terkait Kepentingan Publik, akan terwujud jika kekuasaan sudah di tangan. Oleh karenanya, kecerdasan dan kemantapan talenta politisi dibutuhkan dalam hal ini.
Lagi-lagi Amerika menjadi contoh yang praktis menyikapi kehidupan politik sebagai proses terciptanya perubahan sosial dengan cepat. Politik bagi banyak orang di Amerika, merupakan persaingan asas yang berganti menjadi persaingan yang abstrak, setiap individu berupaya untuk mencerdaskan diri dalam bidang politik, bersaing dengan kompetitif dan sportif merupakan hal konkret yang dilakukan oleh setiap individual-individual di negara itu. Karena bagi banyak orang di sana mempercayai bahwa kehidupan politik termasuk hal final yang akan menetukan baik buruknya kehidupan di masa yang akan datang, dan dunia politik harus di penuhi oleh orang-orang yang cerdas dan berintegritas. Karena dalam prosesnya dinamika politik akan berdampak baik jika politisi tersebut dibekali dengan hal-hal seperti pandai dalam berbicara, sigap dan tanggap dalam kondisi yang memprihatinkan, peka terhadap lingkungan sosial, bijak dalam mengambil keputusan, memiliki strategi yang melimpah untuk pembangunan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kegigihan, dan keadilan. Begitu juga dengan sebaliknya, jika kehidupan politik dipenuhi oleh orang-orang yang tidak dibekali secara mendasar dengan ilmu-ilmu perpolitikan, maka bersiaplah menjadi publik yang mengidamkan pembangunan hanya sebatas angan-angan, bagaikan marmut yang berlari di roda yang berputar, merasa sudah berlari dengan sangat jauh, padahal masih di tempat yang sama. (Amerika Walt Whitman, 1856)
Lalu apa yang sebenarnya yang menyebabkan ada masyarakat dengan perasaan anti-politik? Dan kenapa politik selalu dianggap buruk oleh masyarakat? Bahkan Sebaik apapun kegiatan politik, tetap buruk di mata masyarakat.
Berkaitan dengan hal di atas, tahun 1972 silam menjadi pedoman untuk menjawab teka-teki tersebut. Berdasarkan hasil survey pada saat itu hanya sebanyak 28% populasi Amerika yang percaya terhadap pemimpin kekuasaan. Selebihnya mengkategorikan kehidupan politik bagaikan kehidupan penjual mobil bekas karena tidak kompeten, kurang jujur, dan kurang altruis (perhatian pada kepentingan umum) atas dasar cerita historys peristiwa yang lalu, bukan sepenuhnya dialami oleh setiap individu atau kelompok. Celakanya, opini tersebut sudah menjadi budaya dan secara turun temurun akan diwarisi kepada setiap garis keturunan, jadi tidak heran jika banya ditemukan individu/kelompok yang mengatakan kehidupan politik selalu berkaitan hal-hal yang tidak baik, tanpa mempelajari dan mengamati dahulu secara menadalam.
Penulis beranggapan, bahwa terjadinya sikap apatis politik masyarakat disebabkan oleh ketidakpahaman masyarakat akan politik. Informasi yang diterima kerap menimbulkan kebencian karena tanpa proses penyaringan yang baik. Pada akhirnya, masyarakat enggan peka politik karena beberapa indokator. Selain karena kekecewaan terhadap individu yang berhasil memangku jabatan, juga terpedaya akan isu buruk terkait politik yang sering dikatakan kotor dan politic is cruel, maka pemikiran masyarakat akan politik akan terus seperti itu.
Sebagai “Human Society” sudah sepatutnya kita lebih pandai dalam memilah segala sesuatu yang di dengarkan, penulis merekomendasi untuk mempelajari terlebih dahulu tentang kehidupan politik secara mendalam, sebelum menaburkan benih-benih kebencian yang begitu besar terhadap kehidupan politik. Karena hanya kerugian yang besar yang diterima jika masyarakat dalam lingkungan daerah ataupun pemerintahan suatu negara tidak peka terhadap politik, ataupun apatis dalam hal kehidupan politik. Bahaya Apatis dalam politik tentunya hal yang sangat merugikan, kita terus menuntut perubahan. Kita terus menuntut pembangunan, kita terus menuntut keadilan, kita terus menuntut upaya mengatasi kemiskinan, dan kita terus menuntut kesejahteraan. Namun jika kita apatis terhadap kehidupan politik apa yang didapatkan? Tentunya kita hanya berangan-angan bukan?
Pola pikir yang merugikan sudah saatnya kita tinggalkan. Berpatisipasi dalam dunia politik tidak mesti melibatkan kita secara langsung untuk terjun ke dunia politik atau ikut bertarung dalam pesta demokrasi. Namun, peka terhadap politik yang penulis maksudkan adalah pengetahuan kita tentang memilih (Pemimpin Politik), turut menggiring pemerintahan dalam pembangunan, dan sebagai control pemerintahan untuk pembangunan. Bagaimana kita bisa relevan dengan pemerintahan jika memilih calon pemimpin yang benar saja kita tidak bisa, bagaimana pemerintahan bisa tahu apa yang dibutuhkan masyarakat jika kita tidak mau menyuarakan aspirasi kita dengan pertemuan-pertemuan resmi (Bukan demo), dan bagaimana bisa program yang kita tuntut bisa terealisasi dengan baik jika kita apatis terhadap kehidupan politik yang pada akhirnya lembaga pemerintahan bekerja tanpa pengawasan masyarakat.
Machiavelli turut memberikan pendapat terkait hal ini, gagalnya penyelesaian masalah politik dan terhambatnya perubahan sosial dalam lingkungan masyarakat, disebabkan karena sikap masyarakat yang apatis. Bahkan sikap apatis sendiri dikategorikan orang-orang yang mengidap penyakit tertentu. Peneliti dari Oxford misalnya, pada tahun 2009 silam sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (AS), dan hasilnya apatis yang dialami seseorang merupakan gejala dari setidaknya 33 penyakit. Selain penyakit jantung, parkinson, penyakit Lyme, dan sindrom kelelahan kronis. Tak hanya itu, sikap apatis juga menjadi tanda kekurangan vitamin B12 dan testosteron.
Lalu apakabar dengan Indonesia? Political Cultural masyarakat Indonesia sendiri masih tergolong dalam kategori yang parochial/apatis. Apakah sebahagian besar masyarakat Indonesia tergolong dalam orang-orang sakit? Jika tidak, sudah saatnya kita menjadi masyarakat yang cerdas dan berintegritas pula. Mari peka terhadap politik agar tidak merasa di khianati wakil rakyat. Ayo peka politik agar tidak merasa dibodoh-bodohi oleh para stakeholder, dan mari peka politik untuk terciptanya stabilitas politik di negara ini, disusul dengan perubahan sosial, maka cita-cita mendambakan kesejahteraan akan terwujud.
Dan bersyukurlah Anda para mahasiswa ilmu politik, selain terlepas dari kategori masyarakat yang berpenyakit karena apatis dalam politik, juga sebagai bentuk yang menandakan bahwa negeri ini akan segera berbenah.
Pastikan pileg 2019 kita benar-benar sudah menjadi pemilih cerdas dan berintegritas.
Tulisan Ini telah terbit di salahsatu media, Cek link berikut :http://www.acehtrend.co/dinamika-politik-perubahan-sosial/