PREMANISME
POLITIK DALAM PILKADA
Oleh : Khairul Ahmadi
Oleh : Khairul Ahmadi
Premanisme Politik terkadang menjadi
suatu hal yang sangat penting bagi kita agar lebih peka akan perpolitikan,
bukan hanya sekedar untuk mnegtahuinya saja, tetapi premanisme politik memang
suatu hal yang patut untuk diketahui oleh setiap orang. Kata-kata premanisme
politik tidak terlepas dari arti preman dalam bahasa Belanda Vrijman yang berarti kebebasan, dan isme berarti aliran. Jadi, premanisme politik lazim
nya di interpretasikan sebagai perilaku kelompok dalam mendapatkan
keuntungan/penghasilan berdasarkan hasil pemerasan. Mungkin kita sering melihat
kejahatan-kejahatan menyangkut dengan pemerasanyang terjadi dilingkungan
kehidupan kita, yaitu memintak pajak untuk pemuda kampung bagi setiap pedagang,
kendaraan yang lewat, atau adanya pendatang ke suatu tempat, tetapi dalam
penulisan ini berbeda, dalam penulisan ini melihat bagaimana kompleksitas
perpolitikan yang berlangsung pra pilkada atau pun pasca pilkada/pemilu.
Karena, premanisme politk kerap kali bermunculan dan menyebabkan masalah
jiakala pemilu/pilkada akan dilaksanakan, dengan tujuan agar mendapatkan
perhatian dari partai dan kandidat untuk bergabung dalam koalisi, terjadilah
proses rekruitmen politik, dan premanisme politik dimanfaatkan oleh partai
dalam mewujudkan strategi politik partai. Dengan begitu, kita bisa lebih
berhati-hati jika berkecimpung dalam politik praktis, sehingga terhindar dari
proses politik yang radikal karena bayaran yang tidak seberapa oleh partai.
Konflik sosial yang berlangsung
merupakan salah satu bentuk dari premanisme politik, teruntuk dalam proses
menjelang pemilu/pilkada, loby politik terkadang menyebabkan perpecahan dan
pertumpahan darah. Bagaimana tidak, menjelang pemilu/pilkada sudah menjadi hal
yang lazim banyaknya individu atau kelompok yang mendatangi langsung kandidat
calon untuk loby politik, rela melakukan apa saja untuk pemenangan calon asalkan
mendapatkan pemberian dari si calon tersebut. Dalam pilkada aceh misalnya,
diskusi-diskusi ataupun dalam tesis pilkada membahas bagaimana kondisi sosial
menjelang pilkada, dan hasilnya sangat disayangkan, banyaknya nyawa yang
melayang karena permasalahan pilkada tersebut (Dialoghabapilkada- Aceh
Institute, 4/01/2017).
Menurut Thomas R’Dye (2010), konflik sosial terkadang menjadi strategi
politik yang dilakukan oleh para elit, dalam pemilihan misalnya konflik berguna
untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat, dengan ikut serta menyelesaikan
setiap masalah yang ada, maka dengan spontan masyarakat akan terkesima hatinya,
dan berkata dia layak menjadi pemimpin.
Oleh karenanya, dengan penulisan ini
diharapkan mampu menjadi bahan untuk penambahan wawasan akademik, bagi
mahasiswa yang fokus dibagian politik khususnya, agar materi dan penerapan
seimbang, sehingga dalam proses politik praktis kita paham apa yang harus
dilakukan, paham bagaimana mengatasi permasalahan, dan paham membuat situasi
aman.
Politik dan pilkada
menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan, pilkada merupakan manisfetasi dari
nilai-nilai politik. Sesuai dengan defenisinya, poltik merupakan cara seseorang
uuntuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional (Miriam
budiarjo, 2002). Dalam prosesnya, politik kerap kali digunakan dengan menghalakan
segala cara, terutama untuk mendapatkan kekuasan tentunya dengan sedikit
bayaran orang-orang yang tergabung dengan tim pendukung rela melakukan apa
saja, dan pasangan calon rela membayar orang untuk melakukan kejahatan, dan
rela membayar untuk kecurangan (Money politic).
Pilkada aceh telah terlaksana, kampanye
kreatif merupakan alternatif bagi partai dan pasangan calon untuk mendapat
simpatik masyarakat. Komisi Independen Pemilihan (KIP) telah menetapkan masa
kampanye yaitu mulai tanggal 26 Oktober 2016 hingga tanggal 11 Februari 2017
(Kep. KIP No. 1/2016), para pasangan calon dan partai pun melakukan kreatfitas
mereka dengan memasang spanduk, baliho, dan alat-alat kampanye lainnya, tentunya
dicampuri dengan kata-kata seperti yang sering di pasang di pohon-pohon
sehingga mendapatkan julukan pilkada dan kandidat pohon (RiskiJuanda,
26/12/2016).
Dalam undang-undang nomor 8 tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan bahwa
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan setiap lima tahun sekali. Siklus
lima tahunan itu kini sudah diambang mata. Dalam waktu dekat Aceh akan
menylenggarakan kembali pilkada secara
serentak pada level provinsi dan 20 Kabupaten/Kota. Bagi Aceh ini adalah
Pilkada yang ketiga, dan khusus Kabupaten Gayo Lues merupakan pilkada ke-4.
Hingga saat ini ada 6 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan
bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh, rapat pleno penarikan nomor
urut pasangan calon gubernur/wakil gubernur Aceh, di ruang sidang utama, gedung
DPRA, Banda Aceh, Selasa 25 Oktober 2016 menetepkan Nomor urut 1: Tarmizi
Karim-Machsalmina Ali, Nomor urut 2: Zakaria Saman-T.Alaidinsyah, Nomor urut 3:
Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab, Nomor urut 4: Zaini Abdullah-Nasaruddin,
Nomor urut 5: Muzakir Manaf-TA Khalid, Nomor urut 6: Irwandi Yusuf-Nova
Iriansyah.
Dalam berbagai diskusi
dan dialog mengenai kesiapan rakyat aceh dalam menjelang proses pilkada yang dilakukan
pada tanggal 15 Februari 2017, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan terus
mengajak agar mampu menciptakan kondisi aman dan damai,
serta berlangsung nya pemilu yang jujur, bersih, dan amanah (Diskusi Netralitas
Kip, 05/01/2017).
Konflik sosial dalam pilkada tidak
terlepas konflik dan percekcokkan yang terjadi beberapa waktu silam di aceh. Permasalahan
yang terjadi tidak lepas dari pendukung
masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di aceh, logikanya
sangat tidak mungkin proses pilkada hingga menyebabkan konflik yang berkepanjangan di aceh, padahal sejarah
mencatat aceh merupakan daerah paling tinggi tingkat nasionalisme nya ketika
ada masalah (Konflik aceh-indonesia), dengan suka rela bahu-membahu saling
menolong dan bekerja sama, tetapi kehadiran pilkada di aceh menyebabkan hal
yang sebaliknya.
Mungkin inilah yang disebut dengan
keretakan silaturahmi dalam pilkada, awal mulanya saudara tetapi menjadi saling
tak sapa, awalnya kawan tetapi sekarang menjadi lawan, awalnya bekerjasama
tetapi sekarang ssaling menjatuhkan, semua disebabkan oleh pilihan yang berbeda
terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur aceh (muslim Ibnu Z, 30/12/2016).
Premanisme politik dalam pilkada
eksistensinya dapat dilihat dalam kondisi konflik dan aksi saling serang yang
marak terjadi beberapa waktu lalu di aceh, mulai dari pembunuhan anggota timses
partai, aksi saling serang anatara pendukung satu partai dengan partai lain,
aksi teror berupa penembakan terhadap salahsatu rumah calon gubernur, dan masih
banyak peristiwa dan kejadian lainnya yang terjadi menjelang pilkada aceh.
Secara spesifikasi, ada hal yang
harus dipertanyakan kepada orang-orang yang melakukan hal yang demikian, apakah
itu merupakan rasionalitas pemikiran mereka ? atau itu adalah aksi bayaran,
karna antara defenisi dari premanisme dengan aksi bayaran merupakan suatu hal
yang relevan. Dan analisis sementara, aksi-aksi teror dan kriminalitas yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu tidak lepas dari kepentingan untuk
meraih keuntungan, dan momen pesta demokrasi merupakan momen yang sangat tepat
untuk hal demikian. Undang-undang pasal 28 F ayat 3 (pasal 28) merupakan
senjata bagi premanisme politik sebagai landasan utama untuk eksistensi mereka,
dengan kebebasan berserikat, berkumpul,
dan berpendapat meereka manfaatkan untuk menarik perhatian dari pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur, dengan menampakkan power dan kehebatan didepan
para kandidat dan partai (Caper) , menuntut ataupun memuji kandidat dengan
begitu dalam merupakan strategi untuk mendapatkan perhatian partai ataupun
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Dengan begitu ketika
kelompok-kelompok tersebut melakukan loby politik kepada partai untuk prses
rekruitmen politik dengan mudah bisa tercapai, tentunya tidak terlepas dengan
beberapa tuntutan dan kesepakatan, dan inilah tujuan akhir dari
kelompok-kelompok preman politik, memeras para kandidat dengan bergabung
menjadi satu koalisi dan partai, memintak banyak bantuan dan anggaran dengan
alasan untuk proses sosialisasi dan kampanye, padahal untuk meraih keuntungan,
bahkan tidak itu saja terkadang kerap sekali terjadi penipuan, dengan memintak
pertolongan kepada saudara, karib terdekat ataupun pendukung partai untuk
membantu kandidat selama proses pilkada, namun uangnya tidak di implementasikan
sesuai dengan apa yang direncanakan, melainkan untuk masing-masing pribadi
kelompok preman politik yang memanfaatkan situasi.
Masyarakat
aceh misalnya, dengan kondisi political cultural yang parokhial (apatis) dan
Kaula (ikut-ikutan), menyebabkan masyarakat aceh sangat mudah di kontrol oleh
kandidat/partai politik pra pilkada aceh. Dengan menggunakan atas dasar
persamaan sesama suku aceh (politik identitas), dengan spontan para pemuda
maupun orang tua terkesima dan rela melakukan apa saja untuk partai yang
didukung oleh mereka. Pada awalnya, mereka tidak pantas disebut dengan
premanisme politik. Namun, berkat provokasi
dan pujian yang di lontarkan para kandidat dan partai kepada mereka
(Pemuda/orang tua), memancing emosional mereka agar lebih garang. “Mari kita lumpuhkan
orang yang ingin mengalahkan kita” kata-kata
tersebut merupakan deklarasi Kandidat dari partai PA (Muallem)
beberapa waktu lalu yang dinilai sebagai bentuk diskriminasi dan pencemaran
nama baik. Bukan hanya itu saja,
kata-kata seperti “Usir mereka (orang aceh) yang
tidak memilih kandidat dari partai aceh” dan kata-kata pencemaran nama baik
seperti “apa yang terjadi jika aceh dipimpin oleh dokter hewan dan dokter
bedah” (Deklarasi Partai Aceh, 13/08/2016). Sehingga tidak heran menjelang
pilkada banyak sekali kejahatan-kejahatan atau perilaku yang membuktikan bahwa
hal tersebut sebagai bentuk manifestasi dari
premanisme politik, seperti : penembakan pintu rumah calon gubernur tarmizi
karim, pembunuhan anggota tim pemenangan salahsatu gubernur, sikap saling serang
antara partai, dan lainnya.