Thursday, September 21, 2017

Artikel : Pilkada Dan Politik Identitas

POLITIK IDENTITAS DALAM PILKADA
Oleh : Khairul Ahmadi

     Politik Identitas sering kali disebut sebagai bentuk dari strategi komunikasi politik yang dilakukan oleh actor politik, terutama dalam hal pemilu. Politik identitas diartikan sebagai aktivitas politik dalam arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari ‘kaum yang terpinggirkan’ dalam kondisi sosial, politik, dan kurtural tertentu dalam masyarakat. Dalam perjuangan politik, penggunaan identitas memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan (Cressida Heyes).
   Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan identitas dalam proses perpolitikan memberikan dampak yang signifikan dalam meraih tujuan dan rencana yang telah direncanakan. Bagaimana tidak, yang namanya identitas tidak terlepas dari unsur-unsur persamaan ras, suku, budaya, agama, kepercayaan, dan sebagainya. Atas persamaan tersebut terjadilah proses politik, dimana legitimasi itu sangat mudah diberikan oleh masyarakat kepada seseorang hanya dengan modal atas persamaan saja, tidak perlu memikirkan kapabilitas dan integritas seseorang tersebut, yang penting memiliki kesamaan, baik itu persamaan atas agama, suku, ras, budaya, dan sebagainya. Atas hal tersebut, maka semua proses yang berlangsung dikatakan sebagai politik identitas, karena adanya pemanfaatan kondisi dan situasi atas dasar rasa persamaan (Identitas).
   Politik identitas sangat berkaitan dengan proses pemilu/pilkada, dalam strategi komunikasi yang dipaparkan oleh Thomas R’dye dalam buku komunikasi politik, ia mengatakan bahwa yang namanya proses politik dalam pemilu tidak lepas dari cara untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat, dan mendapatkan legitimasi tersebut cukup dengan beberapa skenario yang mampu mendapatkan simpatik dan perhatian dari masyarakat. Dan poliik identitas merupakan senjata yang relevan untuk hal tersebut.
   Dalam proses pemilu, berbagai macam pernak-pernik kampanye kreatif yang dilakukan oleh partai-partai politik menyerang masyarakat, mulai dari spanduk unik, dan banyak nya baliho-baliho menjadi senjata andalan bagi partai politik untuk mengenalkan calon yang akan bertarung dalam pemilu untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat. Bukan hanya itu saja, bahkan dengan cara-cara blusukan dan memberikan bantuan langsung kepada masyarakat merupakan sesuatu yang lumrah disaat pemilu, hal itu dilakukan untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat agar si calon tersebut dikenal sebagai calon yang baik dan merakyat.
       Aceh misalnya, salahsatu daerah bagian Republik Indonesia yang akan melakukan pemilihan kepala daerah serentak, tepatnya pada tanggal 15 february 2017 mendatang. Hingga saat ini ada 6 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh, rapat pleno penarikan nomor urut pasangan calon gubernur/wakil gubernur Aceh, di ruang sidang utama, gedung DPRA, Banda Aceh, Selasa 25 Oktober 2016 menetepkan Nomor urut 1: Tarmizi Karim-Machsalmina Ali, Nomor urut 2: Zakaria Saman-T Alaidinsyah, Nomor urut 3: Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab, Nomor urut 4: Zaini Abdullah-Nasaruddin, Nomor urut 5: Muzakir Manaf-TA Khalid, Nomor urut 6: Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah.
      Pertarungan untuk mendapatkan bangku No 1 di Aceh mendapatkan sorotan yang tajam dari masyarakat luas, bukan hanya internal aceh saja, bahkan nasional dan internasional memantau pergolakan perpolitikan di aceh. Bukan karena meriahnya proses pilkada di aceh, tetapi sorotan itu didapatkan berdasarkan pertarungan politik yang terjadi antara masing-masing pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang merupakan sama-sama mantan pejuang GAM tersebut. Lalu apa yang menadi masalah ? Tentunya akan sedikit membingungkan jika politk identitas digunakan untuk kampanye, ketika semua kandidat mantan pejuang Gam mengatakan “Pilihlah Pemimpin yang merupakan orang yang telah berjuang di masa lalu untuk Aceh (GAM)”, bagaimana tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, rata-rata dari  Pasangan Calon Gubernur dan Waki Gubernur tersebut merupakan orang-orang pejuang aceh dahulu, dan mereka merupakan  petinggi-petinggi Gam. Seperti Halnya Irwandi menduduki posisi Staf Kusus Komando Pusat Tentara GAM sampai th 2001, Muzakir Manaf merupakan Panglima Gam, Zakarya Saman (Apa Karya) sebagai menteri pertahan Gam, dan Zaini Abdullah merupakan menteri luarnegeri perjuangan Gam dahulu.
     Tokoh-tokoh tersebut merupakan orang-orang yang berjuang sangat keras di masa konflik aceh tersebut (GAM). Kerja keras dan pengorbanan mereka patut di apresiasi. Sebagai bentuk perhatian pemerintahan Indonesia kepada aceh, kesepakatan hasil dari perundingan antara Indonesia dengan Aceh tahun 2005 lalu, maka Aceh diberikan keistimewaan yang tertuai dalam Undang-undang  Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salahsatu bentuk keistimewaan yang didapatkan oleh aceh adalah, berdirinya partai politik local di aceh, yang didirikan atas dasar persamaan dan nasionalisme rakyat aceh, sehingga partai tersebut dinamakan dengan Partai Aceh.
     Daftar anggota DPR Aceh periode 2014-2019 Partai Aceh mendapatkan 29 kursi, dan jumlah tersbut merupakan yang terbanyak mengalahkan partai-partai nasional yang kuat dan sudah lama berdiri. Banyaknya perolehan suara yang didapatkan partai aceh tidak lepas dari rasa persamaan sesama suku aceh, dengan menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan sejarah perjuangan Gam dahulu, maka rakyat aceh rata-rata memberikan suaranya utuk kandidat yang di usung dari partai aceh tersebut.
    Dan 15 February 2017 mendatang aceh akan melaksanakan pilkada serentak, hingga mendekati hari puncaknya, saat sekarang ini strategi partai-partai politik yang bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh semakin sengit dan menarik. Tidak hanya penggunaan spandu, baliho dan sarana prasaran unik lainnya, tetapi nilai-nilai persamaan Identias juga menjadi senjata andalan bagi partai politik.
      Parta Aceh misalnya, calon kuat yang di usung adalah Muzakir Manaf- TA.Khalid dari beberapa waktu silam hingga sekarang sangat jelas sekali penggunaan identitas sebagai salah-satu strategi politik mereka. Sesuai dengan defenisinya, politik identitas dikatkan sebagai pemanfaatan kondisi untuk kepentingan politik dan hal tersebut dilakukan oleh partai aceh.
   Sebagai bukti konkritnya dapat ditelaah berdasarkan beberapa penyampaian-penyampaian yang berisikan seruan dan ajakan untuk memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur serta para Bupati yang diusung dari Partai Aceh. Seperti halnya deklarasi partai aceh pada tanggal 13 Agustus 2016 di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Muzakir Manaf mengatakan bahwa kita patut mengenang sejarah, kita harus tetap dijalur yang sama, kita tidak boleh seperti mereka yang keluar dari partai yang kita bangun atas persamaan identitas kita hanya karena untuk mendapatkan kekuasaan, dan kita harus memperjuangkan orang-orang yang tergabung dalam Partai yang kita bangun atas perjuangan kita (Partai Aceh) agar kita tetap berada dalam satu wadah untuk pembangunan Aceh. Selain itu, juru bicara KPA Muhammad Jhony tetap menghimbau kepada Rakyat Aceh, agar terus bersatu dengan Partai Aceh pada Pilkada kali ini. “Kita masih memikul beban yang teramat besar, yang tidak mampu difahami oleh pihak mana pun, karena partai perjuangan tetap PA dan perjuangan ini belum membuahkan apapun, karena selama inj, pujuk pimpinan Aceh masih ditangan yang salah,”
       Banyak sekali seruan dan ajakan yang berlandaskan persamaan dan identitas untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat (Politik identitas), hal itu bertujuan agar partai yang dibangun atas perjuangan yang begitu besar (Partai Aceh) disia-siakan begitu saja dengan tidak mendukung calon-calon yang di usung oleh partai aceh tersebut. Terutama untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, deklarasi demi deklarasi terus disampaikan agar rakyat aceh memilih kandidat dari partai aceh.
       Dan pada dasarnya, penggunaan politik identitas sebagai alat untuk pemilu sangat memberikan pengaruh yang signifikan, karena rakyat aceh sangat kental agan rasa persatuan dan kesatuanya, dengan menjunjung tinggi jiwa nasionalisme rakyat aceh, maka mereka tidak akan ragu-ragu memberikan kepercayaan kepada orang yang satu persamaan dengan mereka. Partai Aceh misalnya, merupaka wadah penampungan aspirasi masyarakat aceh, orang-orang akan rela melakukan apa saja untuk berjuang demi partai aceh. Penggunaan persamaan identitas sebagai alat politik juga berdampak baik bagi rakyat aceh, semari melatih kekompakan, hal ini juga sebagai alat untuk terus merapatkan saf agar rakyat aceh selalu bersatu untuk berjuang menciptakan perubahan.

 Tulisan Ini telah di muat oleh salahsatu media online, Cek Link Berikut :
http://www.atjehupdate.com/pilkada-dan-politik-identitas/3586/

No comments:

Post a Comment