Militer Dalam Lingkar Politik Praktis
Oleh Khairul Ahmadi*
Oleh Khairul Ahmadi*
Dinamika pertarungan politik menjadi salahsatu wadah sinergisitas militer dalam menciptakan suasana iklim politik yang stabil. Bukan hanya sekeder dongeng atau retorika, Sejarah mencatat bahwa militer mempunyai masa dimana eksistensinya sebagai kekuatan politik yang pengaruhnya sangat besar di dalam proses politik yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa pengaruh militer sangatlah besar dalam menentukan arah kebijakan politik dan juga mengatur arah kehidupan masyrakat. Militer menjelma sebagai kekuatan politik yang mendukung dan mempertahankan kekuasaan penguasa, bertujuan untuk menjaga, menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik. Keterlibatan militer dalam politik ini nantinya menunjukkan identitas yang berbeda antara militer dengan aktor-aktor politik lainnya.
Dalam gagasan filsuf kuno, dijelaskan secara real bagaimana keterlibatan militer dalam politik. Ialah seorang Socrates yang mengandaikan sebuah pemerintahan terbaik, dalam pemikirannya tersebut dia membagi pemerintahan sebanyak lima jenis mulai dari tingkatan yang terbaik sampai dengan yang terburuk. Berkaitan dengan militer, ternyata Socrates mengkategorikan pemerintahan yang dipegang oleh militer adalah nomor dua yang terbaik. Rezim timokrasi dikategorikan sebagi rezim yang diperintah oleh mereka yang menyukai akan kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit. Selain itu rezim ini diwarnai dengan semangat (Surbati, Ramlan 2010: 32).
Pada dasarnya militer dibekali dengan peran hanya untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat sipil maupun keamamanan negara, terlihat jelas dalam pernyataan Panglima Besar Jendral Soedirman di Yogyakarta pada Mei 1946 yang mengatakan “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselematannya. Keteguhan militer dalam hal ini nyaris terhenti dan mulai menunjukkan sikap baru. Sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkan.
Banyak pro dan kontra terkait tupoksi militer tersebut yang hanya demikian saja, harus diingat pula, stabilitas politik dalam sebuah negara tidak cukup dipertahankan oleh elit politik saja, profesionalitas tentara juga tidak bisa diragukan begitu saja, bahkan politik dan kemiliteran merupakan hal yang relevan, yaitu sama-sama berkaitan dengan komitmen prinsip perjuangan yang “maju tak gentar membela yang benar” atau “Bersatu teguh untuk kesejahteraan kita, keluarga, dan negara” tanpa ada rasa gundah dan mudah menyerah, dan sikap kepemimpinan militer yang takkan mau menyerah sebelum nyawa tiada juga merupakan dasar pribadi yang menunjukan profesionalitas kemiliteran yang sangat diperlukan dalam proses menciptakan stabilitas perpolitikan di daerah ataupun negara.
Masuknya militer dalam dunia politik dapat dikatakan atas suatu dorongan dari sebuah situasi atau keadaan. Militer campur tangan dalam politik karena beberapa faktor, yaitu: keadaan, dicemooh dan dipojokkan oleh elite sipil secara tidak wajar, kegagalan pemimpin dan elite sipil dalam melaksanakan tugasnya, dipengaruhi dan ditarik ke arena politik, dan dijadikan alat kekuasaan politik (Fattah, Abdoel 2005: 2).
Giddens mengatakan bahwa peranan militer dalam politik merupakan sebuah bentuk struturasi. Atau bisa dikatakan sebagai third way (tengah). Pendekatan ini lebih menekankan pada keberadaan struktur dan aktor di sebuah pembabakan zaman, karena dia melihat perkembangan masyarakat itu pasti dinamis dan selalu bergerak. Tidak seperti teori struktur ataupun aktor yang lebih mempertahankan status quo dari sebuah masyarakat. Giddens dalam teori strukturasi menjelaskan bagaimana peranan militer dalam politik dapat dikatakan sebagai aktor dan agen. Dapat dikatakan aktor ketika struktur politik tersebut mempunyai pengaruh yang besar serta menentukan setiap tindakan aktor. Sedangkan dikatakan sebagai agen adalah ketika kekuatan politik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap struktur politik.
Indonesia misalnya, profesionalitas tubuh militer dalam politik sebenarnya dimulai dari kebijakan dalam kabinet Mohammad Hatta, saat itu Perdana Mentri Hatta membuat kebijakan RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara). Kebijakan itu bertujuan untuk mengefisiensikan anggaran dan juga berusaha mematangkan organisasi ketentaraan. Karena pada dasarnya pembentukan tentara di Indonesia dengan negara lain sangatlah berbeda. Ketentaraan pembetukannya tidak dipersiapkan dengan matang, melainkan ada karena tuntutan dalam mempertahankan kedaulatan negara. Adanya RERA berusaha untuk menyeleksi laskar-laskar dan komponen masyarakat agar sesuai dengan standarisasi organisasi ketentaraan yang dibentuk. Selain itu adanya kebijakan RERA juga berusaha untuk memprofesionalkan tentara agar tidak ikut-ikut dalam dunia politik dan setia terhadap supremasi sipil. Hal itu sesuai dengan cita-cita Panglima Besar Jendral Soedirman, yang menginginkan ketentaraan yang netral dan tidak ikut campur dalam politik, hanya setia terhadap ideologi negara dan bangsanya.
Pasca diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Indonesia memasuki masa demokrasi parlementer. Saat itu supremasi sipil benar-benar dijalankan, tentara dapat dikatakan di bawah kendali pemerintahan sipil yang terdiri dari berbagai partai yang ada dalam parlemen. Akan tetapi awal masuknya ke dalam demokrasi parlementer tentara juga kehilangan sosok yang paling berwibawa yaitu Panglima Besar Jenderal Soedirman. Tokoh tersebut merupakan sosok yang mendudukan adanya supremasi sipil terhadap tentara. Hal itu terbukti ketika pada perang kemerdekaan TNI di bawah Jendral Soedirman mampu memenuhi tugasnya setia pada keputusan pemerintah sipil.
Kondisi menjadi tidak tentu arah, akibat kematian Jenderal Soedirman, saat itu tentara di bawah pimpinan A.H Nasution melihat adanya ketidakstabilan dan tidak sehatnya parlemen. Setidakmya ada beberapa alasan terkait dengan pandangan Nasution. Pertama, demokrasi parlementer yang terdiri dari berbagai partai dengan perbedaan ideologi membuat negara tidak dijalankan secara konsisten dan program jangka panjang tidak berjalan dengan baik. Kedua, Hal itu semakin diperparah dengan adanya cemoohan dari anggota parlemen yang sebagian merupakan orang-orang yang pro pemerintahan federal Belanda yang merupakan musuh TNI dalam perang kemerdekaan tahun 1945-1949. Ketiga, adanya campur tangan sipil terhadap urusan ketentaraan, satu hal yang jelas: tentara tidak mau diperalat oleh kekuatan politik dan urusan internal dicampuri oleh politisi sipil, karena mereka mementingkan otonomi dan eksklusivitas menyangkut fungsinya (Nordlinger 1990: 70).
Akibat dari peristiwa tersebut, timbullah protes terhadap kondisi ini, hal itu tertuai dalam aksi yang di pimpin oleh TNI pimpinan Nasution dengan dukungan rakyat pada tanggal 17 Oktober 1952. Letnan Jendral Sayidiman (1997: 161) menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober 1952, pada hakikatnya mencerminkan sikap tentara yang hendak memainkan peran politik melawan parlemen yang dianggap mengacau keadaan dalam negeri, khususnya para anggotanya yang dalam perang kemerdekaan ikut Belanda. Menurut Nasution peristiwa ini sebagai upaya “anak mau mengutarakan isi hati kepada bapak” (Stanley Adi Prasetyo & Toriq Hadad 1998: 301).
Setahun setelah aksi demonstrasi yang dilakukan tentara pada tanggal 17 Oktober 1952, atas hal tersebut Presiden Soekarno mengomentari aksi tersebut yang tertuang pada pidato kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1953. Dalam pidatonya Soekarno mengatakan: “Hai, tentara dan polisi dan rakyat perlipatgandakanlah usahamu membasmi pengacau-pengacau itu. Segala jalan harus dilalui, kalo kata-kata saja tidak dapat menyehatkan jiwa yang keblinger, apa boleh buat turunlah senjata berbicara satu bahasa yang lebih kuat lagi. Padahal angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan perang harus berjiwa,Ya berjiwa, berapi-api, berkobar-kobar tetapi dia tidak boleh ikut-ikut politik”.
Pidato dimaksudkan agar tentara tetap dijalurnya yaitu fungsi sebagai alat pertanahan negara dan urusan kenegaraan diserahkan pada para politisi sipil. Praktis keterlibatan tentara dalam politik hanya sebagai aktor yang tunduk pada kekuatan infrastruktur atau kebijakan politik.
Sebenarnya Masuknya tentara dalam politik tersebut dilegitimasikan oleh konsep yang dibuat A.H Nasution yaitu “jalan tengah tentara”. Konsep yang dimaksudkan tersebut adalah memberi tempat kepada anggota tentara untuk ikut serta dalam pembinaan negara, tapi tanpa mendominasi. Dengan model itu, tentara tidak akan mengambil alih kekuasaan, tapi akan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk menentukan nasib bangsa (Fattah, Abdoel 2005: 106).
Nasution mengibaratkan tidak ikut sertanya tentara dalam pembinaan negara adalah seperti menyumbat gunung berapi, yang pasti suatu waktu akan meledak (Salim Said 2002: 21). Kemudian masuknya tentara dalam politik ternyata menurut Nasution juga dilandasi oleh de jure, seperti perkatannya yang mengatakan: “Dengan kembali ke UUD 45, terbukalah jalan guna membina kemantapan cita-cita kemerdekaan semula, guna mempersatukan kembali satuan-satun perjuangan, dan guna mendasari politik pemulihan keamanan yang amat mendesak dewasa itu. Kembali ke UUD 45 ini memungkinkan kemantapan ideologi dan kepemimpinan dan memungkinkan pemberiaan posisi formal bagi TNI sebagai “golongan” (pasal 2 UUD).
Namun Pada akhirnya penilaian terhadap kualitas militer yang dianggap mampu menciptakan stabilitas politik ternyata hanya sekedar pasir yang hilang tertiup angin begitu saja. Hingga saat ini militer secara tegas dilarang untuk terjun ke dunia politik, hal tersebut diperkuat dengan UU TNI No 34/2004, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan bahwa: “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 47 Ayat 1 disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
Tulisan Ini Telah Terbit di Salahsatu Media Online, Cek Link Berikut :
http://www.acehtrend.co/militer-dalam-lingkar-politik-praktis/
http://www.acehtrend.co/militer-dalam-lingkar-politik-praktis/
No comments:
Post a Comment