Thursday, September 21, 2017

Artikel : Premanisme Politik Dalam Pilkada


PREMANISME POLITIK DALAM PILKADA
Oleh : Khairul Ahmadi

      Premanisme Politik terkadang menjadi suatu hal yang sangat penting bagi kita agar lebih peka akan perpolitikan, bukan hanya sekedar untuk mnegtahuinya saja, tetapi premanisme politik memang suatu hal yang patut untuk diketahui oleh setiap orang. Kata-kata premanisme politik tidak terlepas dari arti preman dalam bahasa Belanda Vrijman yang berarti kebebasan, dan isme  berarti aliran. Jadi, premanisme politik lazim nya di interpretasikan sebagai perilaku kelompok dalam mendapatkan keuntungan/penghasilan berdasarkan hasil pemerasan. Mungkin kita sering melihat kejahatan-kejahatan menyangkut dengan pemerasanyang terjadi dilingkungan kehidupan kita, yaitu memintak pajak untuk pemuda kampung bagi setiap pedagang, kendaraan yang lewat, atau adanya pendatang ke suatu tempat, tetapi dalam penulisan ini berbeda, dalam penulisan ini melihat bagaimana kompleksitas perpolitikan yang berlangsung pra pilkada atau pun pasca pilkada/pemilu. Karena, premanisme politk kerap kali bermunculan dan menyebabkan masalah jiakala pemilu/pilkada akan dilaksanakan, dengan tujuan agar mendapatkan perhatian dari partai dan kandidat untuk bergabung dalam koalisi, terjadilah proses rekruitmen politik, dan premanisme politik dimanfaatkan oleh partai dalam mewujudkan strategi politik partai. Dengan begitu, kita bisa lebih berhati-hati jika berkecimpung dalam politik praktis, sehingga terhindar dari proses politik yang radikal karena bayaran yang tidak seberapa oleh partai.
      Konflik sosial yang berlangsung merupakan salah satu bentuk dari premanisme politik, teruntuk dalam proses menjelang pemilu/pilkada, loby politik terkadang menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah. Bagaimana tidak, menjelang pemilu/pilkada sudah menjadi hal yang lazim banyaknya individu atau kelompok yang mendatangi langsung kandidat calon untuk loby politik, rela melakukan apa saja untuk pemenangan calon asalkan mendapatkan pemberian dari si calon tersebut. Dalam pilkada aceh misalnya, diskusi-diskusi ataupun dalam tesis pilkada membahas bagaimana kondisi sosial menjelang pilkada, dan hasilnya sangat disayangkan, banyaknya nyawa yang melayang karena permasalahan pilkada tersebut (Dialoghabapilkada- Aceh Institute, 4/01/2017).
       Menurut Thomas R’Dye (2010),  konflik sosial terkadang menjadi strategi politik yang dilakukan oleh para elit, dalam pemilihan misalnya konflik berguna untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat, dengan ikut serta menyelesaikan setiap masalah yang ada, maka dengan spontan masyarakat akan terkesima hatinya, dan berkata dia layak menjadi pemimpin.
    Oleh karenanya, dengan penulisan ini diharapkan mampu menjadi bahan untuk penambahan wawasan akademik, bagi mahasiswa yang fokus dibagian politik khususnya, agar materi dan penerapan seimbang, sehingga dalam proses politik praktis kita paham apa yang harus dilakukan, paham bagaimana mengatasi permasalahan, dan paham membuat situasi aman.
       Politik dan pilkada menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan, pilkada merupakan manisfetasi dari nilai-nilai politik. Sesuai dengan defenisinya, poltik merupakan cara seseorang uuntuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional (Miriam budiarjo, 2002). Dalam prosesnya, politik kerap kali digunakan dengan menghalakan segala cara, terutama untuk mendapatkan kekuasan tentunya dengan sedikit bayaran orang-orang yang tergabung dengan tim pendukung rela melakukan apa saja, dan pasangan calon rela membayar orang untuk melakukan kejahatan, dan rela membayar untuk kecurangan (Money politic).
    Pilkada aceh telah terlaksana, kampanye kreatif merupakan alternatif bagi partai dan pasangan calon untuk mendapat simpatik masyarakat. Komisi Independen Pemilihan (KIP) telah menetapkan masa kampanye yaitu mulai tanggal 26 Oktober 2016 hingga tanggal 11 Februari 2017 (Kep. KIP No. 1/2016), para pasangan calon dan partai pun melakukan kreatfitas mereka dengan memasang spanduk, baliho, dan alat-alat kampanye lainnya, tentunya dicampuri dengan kata-kata seperti yang sering di pasang di pohon-pohon sehingga mendapatkan julukan pilkada dan kandidat pohon (RiskiJuanda, 26/12/2016).
     Dalam undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan setiap lima tahun sekali. Siklus lima tahunan itu kini sudah diambang mata. Dalam waktu dekat Aceh akan menylenggarakan kembali  pilkada secara serentak pada level provinsi dan 20 Kabupaten/Kota. Bagi Aceh ini adalah Pilkada yang ketiga, dan khusus Kabupaten Gayo Lues merupakan pilkada ke-4. Hingga saat ini ada 6 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan bertarung untuk mendapatkan bangku Nomor 1 di Aceh, rapat pleno penarikan nomor urut pasangan calon gubernur/wakil gubernur Aceh, di ruang sidang utama, gedung DPRA, Banda Aceh, Selasa 25 Oktober 2016 menetepkan Nomor urut 1: Tarmizi Karim-Machsalmina Ali, Nomor urut 2: Zakaria Saman-T.Alaidinsyah, Nomor urut 3: Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab, Nomor urut 4: Zaini Abdullah-Nasaruddin, Nomor urut 5: Muzakir Manaf-TA Khalid, Nomor urut 6: Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah.
    Dalam berbagai diskusi dan dialog mengenai kesiapan rakyat aceh dalam menjelang proses pilkada yang dilakukan pada tanggal 15 Februari 2017, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan terus mengajak agar  mampu menciptakan kondisi aman dan damai, serta berlangsung nya pemilu yang jujur, bersih, dan amanah (Diskusi Netralitas Kip, 05/01/2017).
     Konflik sosial dalam pilkada tidak terlepas konflik dan percekcokkan yang terjadi beberapa waktu silam di aceh. Permasalahan yang  terjadi tidak lepas dari pendukung masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di aceh, logikanya sangat tidak mungkin proses pilkada hingga menyebabkan konflik yang  berkepanjangan di aceh, padahal sejarah mencatat aceh merupakan daerah paling tinggi tingkat nasionalisme nya ketika ada masalah (Konflik aceh-indonesia), dengan suka rela bahu-membahu saling menolong dan bekerja sama, tetapi kehadiran pilkada di aceh menyebabkan hal yang sebaliknya.
       Mungkin inilah yang disebut dengan keretakan silaturahmi dalam pilkada, awal mulanya saudara tetapi menjadi saling tak sapa, awalnya kawan tetapi sekarang menjadi lawan, awalnya bekerjasama tetapi sekarang ssaling menjatuhkan, semua disebabkan oleh pilihan yang berbeda terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur aceh (muslim Ibnu Z,  30/12/2016).
     Premanisme politik dalam pilkada eksistensinya dapat dilihat dalam kondisi konflik dan aksi saling serang yang marak terjadi beberapa waktu lalu di aceh, mulai dari pembunuhan anggota timses partai, aksi saling serang anatara pendukung satu partai dengan partai lain, aksi teror berupa penembakan terhadap salahsatu rumah calon gubernur, dan masih banyak peristiwa dan kejadian lainnya yang terjadi menjelang pilkada aceh.
     Secara spesifikasi, ada hal yang harus dipertanyakan kepada orang-orang yang melakukan hal yang demikian, apakah itu merupakan rasionalitas pemikiran mereka ? atau itu adalah aksi bayaran, karna antara defenisi dari premanisme dengan aksi bayaran merupakan suatu hal yang relevan. Dan analisis sementara, aksi-aksi teror dan kriminalitas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu tidak lepas dari kepentingan untuk meraih keuntungan, dan momen pesta demokrasi merupakan momen yang sangat tepat untuk hal demikian. Undang-undang pasal 28 F ayat 3 (pasal 28) merupakan senjata bagi premanisme politik sebagai landasan utama untuk eksistensi mereka, dengan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat meereka manfaatkan untuk menarik perhatian dari pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, dengan menampakkan power dan kehebatan didepan para kandidat dan partai (Caper) , menuntut ataupun memuji kandidat dengan begitu dalam merupakan strategi untuk mendapatkan perhatian partai ataupun pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Dengan begitu ketika kelompok-kelompok tersebut melakukan loby politik kepada partai untuk prses rekruitmen politik dengan mudah bisa tercapai, tentunya tidak terlepas dengan beberapa tuntutan dan kesepakatan, dan inilah tujuan akhir dari kelompok-kelompok preman politik, memeras para kandidat dengan bergabung menjadi satu koalisi dan partai, memintak banyak bantuan dan anggaran dengan alasan untuk proses sosialisasi dan kampanye, padahal untuk meraih keuntungan, bahkan tidak itu saja terkadang kerap sekali terjadi penipuan, dengan memintak pertolongan kepada saudara, karib terdekat ataupun pendukung partai untuk membantu kandidat selama proses pilkada, namun uangnya tidak di implementasikan sesuai dengan apa yang direncanakan, melainkan untuk masing-masing pribadi kelompok preman politik yang memanfaatkan situasi.
     Masyarakat aceh misalnya, dengan kondisi political cultural yang parokhial (apatis) dan Kaula (ikut-ikutan), menyebabkan masyarakat aceh sangat mudah di kontrol oleh kandidat/partai politik pra pilkada aceh. Dengan menggunakan atas dasar persamaan sesama suku aceh (politik identitas), dengan spontan para pemuda maupun orang tua terkesima dan rela melakukan apa saja untuk partai yang didukung oleh mereka. Pada awalnya, mereka tidak pantas disebut dengan premanisme politik. Namun, berkat provokasi dan pujian yang di lontarkan para kandidat dan partai kepada mereka (Pemuda/orang tua), memancing emosional mereka agar lebih garang. “Mari kita lumpuhkan orang yang ingin mengalahkan kita” kata-kata tersebut merupakan deklarasi Kandidat dari partai PA (Muallem) beberapa waktu lalu yang dinilai sebagai bentuk diskriminasi dan pencemaran nama baik. Bukan hanya itu saja, kata-kata seperti “Usir mereka (orang aceh) yang tidak memilih kandidat dari partai aceh” dan kata-kata pencemaran nama baik seperti “apa yang terjadi jika aceh dipimpin oleh dokter hewan dan dokter bedah” (Deklarasi Partai Aceh, 13/08/2016). Sehingga tidak heran menjelang pilkada banyak sekali kejahatan-kejahatan atau perilaku yang membuktikan bahwa hal tersebut sebagai bentuk manifestasi dari  premanisme politik, seperti : penembakan pintu rumah calon gubernur tarmizi karim, pembunuhan anggota tim pemenangan salahsatu gubernur, sikap saling serang antara partai, dan lainnya.

No comments:

Post a Comment