Wakil Rakyat, Jangan Tidur Saat Sidang Soal Rakyat
Oleh Khairul Ahmadi*)
Terkait polemik pencabutan dua pasal UUPA akibat kelalaian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang ada di Senayan kembali menyayatkan luka yang cukup mendalam bagi 5,2 juta rakyat aceh. Harapan besar yang disuguhkan kepada wakil rakyat Aceh tersebut ternyata bagaikan mengukir di atas air. Bagaimana tidak, UUPA yang merupakan jerih payah perjuangan masyarakat aceh, tidak tanggung-tanggung satu pasal dalam rangkaian UUPA setara dengan 1 nyawa masyarakat Aceh. (Red-sejarah perjuangan)
Sedikit catatan penting dari hasil FGD (Focus Gruoup Discusion) di ruang rapat Rektor Unsyiah, turut di hadiri Rektor Unsyiah, Ketua Banleg DPRA, Ketua komisi 1 DPRA, Ketua KIP, Ketua Panwaslih, dan undangan lainnya (Jum’at, 27/7). Mengangkat tema tentang polemik UU Pemilu yang baru disahkan, dan juga polemik pencabutan dua pasal dalam UUPA. Bagaikan ibu-ibu yang sedang merumpi, para peserta FGD tersebut menanggapi dan sangat menyangkan pernyataan salahsatu dari anggota dewan RI Asal Aceh yang ada di Senayan. Nasir Djamil yang merupakan salahseorang tokoh yang cukup populer dan merupakan wakil rakyat Aceh yang ada di Senayan, akibat pernyataannya yang mengatakan “Dirinya bukan tidak tahu terkait pencabutan dua pasal UUPA, tapi tidak dilibatkan dalam pansus RUU pemilu sehingga tidak tahu”, kabar tersebut menjadi trending topik serta menjadi referensi bagi media dan masyarakat untuk menilai sejauh mana profesionalitas dan rasa tangnggung jawab para wakil rakyat aceh tersebut.
Akibatnya, celetukan bernada sinis pun dikemukakan oleh salahsatu peserta FGD, Zulfikar mengatakan “Apa saja yang mereka lakukan? Ada 17 orang di sana (13 orang DPR RI dan 4 anggota DPD), kok tidak tahu. Kalau kami di Aceh menyatakan tidak tahu ya wajar. Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa diharapkan kepada wakil-wakil kita,” jar Zulfikar.
Silih berganti, celutukan bernada sinis yang dikemukanan terus mengalir. Ketua komisi 1 DPRA turut andil perihal ini. Ia mencoba meredakan bara api yang mulai menyala, setelah membuat kondisi menjadi lebih tenang, Iskandar Usman juga tak lupa menyampaikan bahwa sekitar tiga bulan lalu, ketika UU Pemilu belum disahkan, banleg komisi 1 DPRA datang ke Jakarta dengan maksud untuk mempertanyakan masalah pembahasan RUU pemilu. Tapi, tak satupun anggota DPR RI Asal Aceh yang mau menjumpai rombongan DPRA, dengan alasan sibuk akan tugas-tugar yang banyak, dan saking sibuknya para wakil kita tidak tahu atas pencabutan 2 pasal tersebut, bahkan memberikan kritik dan saran kepada fraksi saja mereka tidak sempat.
Perlu kita ketahui, sejarah yang terukir jelas akan perjuangan masyarakat aceh yang dilakoni oleh GAM (gerakan Aceh Merdeka) dalam proses lahirnya Mou Helsinky dan juga UUPA pada masa itu janganlah dianggap sebagai catatan singkat seorang pelawak, yang penuh akan kata-kata yang bisa membuat kita tertawa. Maih terlalu banyak kisah pilu yang sangat menyayat hati bagi korban keluarga yang saat ini masih bernafas jika mengingat kisah nan lalu, bak kata “bagaikan luka yang ditaburi garam” sungguh sangat perih. Kekejaman dan perilaku yang membabi buta pada masa itu membuat keluarga korban hingga saat ini tidak bisa melupakan begitu saja kejadian nan lalu. Bagaimana tidak, korban di tembak dan dibunuh dengan kejam di depan mata keluarganya sendiri, penyiksaan, dan juga perilaku yang tidak senonoh acap kali dilakukan oleh diktator pada masa itu.
Kita tidak bisa melupakan begitu saja peristiwa-peristiwa penting pada masa itu, salah satunya Tragedi Idi Cut, dikenal luas dengan nama Tragedi Arakundo, merupakan sebuah peristiwa pembantaian sipil yang terjadi tanggal 4 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh, Indonesia. Pada tanggal 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Nurussalam, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan pentas kegiatan di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB, sejumlah tentara datang dengan membawa senjata laras panjang. Penduduk setempat menduga mereka anggota Koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang saat itu sedang berada di sekitar tempat pembuatan pentas. Aparat pun membabi buta, Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka. anyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara. Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan. (Serambi Indonesia 14/2/1999).
Dan kita masih dihantui dengan Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh, yang merupakan peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe, Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak. Sebuah monumen didirikan di tempat penembakan Simpang KKA, desa Cot Murong, Lhokseumawe.
Begitu menyanyat luka yang mendalam bukan ? hal di atas merupakan sebahagian dari perisitwa yang terjadi. Masih banyak lagi peristiwa-periwtiwa yang terjadi masa itu, diantaranya : Insiden Alue Nireh, Insiden Krueng Tuan, Insiden Lhok Nibong, Insiden Sama Dua, Tragedi Beutong Ateuh, Tragedi Gedung KNPI Aceh Utara, Tragedi Kandang, Tragedi Peudada, Tragedi Rumoh Geudong, Tragedi, Tragedi Bumi Flora, Tragedi Relawan LSM RATA. Sampai pada akhirnya, konflik aceh dinobatkan sebagai salahsatu daerah paling banyak mengalami pelanggaran HAM di dunia.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia Pemerintah Indonesia dan GAM berhasil mencapai kesepakatan damai. Kedua belah pihak kemudian menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) bagi terwujudnya masa depan Aceh yang damai dan sejahtera. Penandatanganan MoU di Helsinki ini menandai berakhirnya konflik yang telah melanda Aceh selama lebih 30 tahun.
Salah satu implementasi penting dari kesepakatan damai (MoU) tersebut adalah penyusunan Undang-undang baru mengenai Pemerintahan Aceh. Sebagai Provinsi, Aceh akan diberikan status otonomi yang luas dan pemerintahan sendiri (self government). Atas inisiatif DPRA yang difasilitasi oleh Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia, dimulailah proses perumusan Undang-undang Pemerintahan Aceh tersebut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat Aceh.
Apalagi Pasal 1 ayat 1 MoU Helsinki menyebutkan Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh (PPA) merupakan perangkat hukum penting untuk membangun Aceh yang baru, yakni Aceh yang damai, berkeadilan, demokratis, menghormati HAM, moderen dan makmur tanpa mengenyampingkan tradisi, sejarah, adat istiadat dan tata kelola pemerintahan yang baik. MoU tersebut juga mengamanatkan agar UU tentang Pemerintahan Aceh tersebut dapat mengatur hal-hal pokok seperti tata hubungan antara pemerintah pusat dengan pemrintah Aceh, partisipasi politik termasuk pembentukan Partai Politik Lokal, pembangunan ekonomi, penegakan HAM, prinsip-prinsip reintegrasi termasuk sumber dan pengelolaan dana integrasi dan akuntabilitas penggunaannya, pengaturan keamanan serta penegakan hukum termasuk di dalamnya membangun sistem keadilan terpadu (Integrated justice system). Mou Helsinky dan UUPA merupakan hasil jerih payah dari perjuangan pejuang Aceh. Butiran pasal demi pasal diibaratkan sama harga dengan satu nyawa, karena pasal-pasal tersebut lahir dengan darah juang masyarakat aceh (GAM).
Berdasarkan serangkaian catatan peristiwa di atas, masih tegakah para wakil rakyat tidak serius mengemban amanah 5,2 juta rakyat aceh? Bukan hanya untuk wakil rakyat di DPR RI saja yang sekarang tengah mengalami krisis legitimasi dari masyarakat akibat kelalaian mereka terkait polemik pencabutan 2 pasal UUPA dan permasalahan lainnya, tetapi juga untuk wakil rakyat di DPRA sendiri juga seharusnya tetap mengingat sejarah perjuangan pejuang masa itu, bukan maksud mengajari atau seolah-olah penulis lebih merasakan pahitnya perjuangan dahulu, tetapi kondisi aceh sendiri saat ini tengah memprihatinkan. Bagaimana tidak, berlimpahnya anggaran tidak membuat rakyat sejahterah, bahkan menempatkan aceh mendapatkan prestasi sebagai salahsatu daerah tertinggal dan tersmiskin terbesar di Indonesia.
Terkait polemik pencabutan 2 pasal UUPA sendiri juga harus diselesaikan secara bersama, bagaikan bertempur di medan perperangan, kerja tim yang solid takkan mengkhiantai hasil. Jika Yusril Ihza Mahendra dengan “sendirinya” berani mengajukan gugat penolakan UU pemilu dan juga mengajukan Uji materi, kenapa wakil rakyat Aceh yang terdiri 13 anggota DPR dan 4 anggota DPD tidak mencoba melakukan hal yang sama.
5,2 juta masyarakat aceh tengah menunggu upaya dari wakil mereka, apakah wakil-wakil rakyat Aceh di sana memiliki kapabilitas dan tingkat profesionalitas yang tinggi sehingga kehadiran mereka di senayan turut dipertimbangkan, atau sebaliknya. Jika mendengar pernyataan berikut “Wakil rakyat Aceh bukan tidak tahu polemik pencabutan 2 pasal UUPA, tetapi karena tidak diikut sertakan dalam pansus RUU” dan pernyataan Ketua komisi 1 DPRA, Iskandar Usman “Padahal sebelumnya rombongan DPRA mengajak wakil rakyat di senayan untuk bertemu dan membahas UU pemilu tersebut” atas pernyataan-pernyataan tersebut maka 5,2 juta rakyat aceh mulai meragukan kapabilitas wakil mereka yang ada di senayan.
Sebagai mahasiwa, penulis merasa geram dengan hal ini, ingin rasanya menghibur para wakil kami yang telah lelah bekerja untuk memperjuangkan hak rakyat aceh, tidak hanya di DPRA saja, melainkan wakil rakyat aceh yang ada di Senayan sana. Mungkin dengan sejumlah garda perkumpulan mahasiswa berdiri di jalan, sembari menyanyikan lagu “:Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat” menjadi hiburan bagi wakil rakyat yang terlalu lelah bekerja memperjuangkan hak-hak 5,2 juta rakyat aceh, dan Hal tersebut juga bukti rasa cinta kami (mahasiswa) kepada wakil-wakil kami (rakyat Aceh).
Dan dalam kondisi itu, kami tidak hanya berharap penyelesaian polemik pencabutan 2 pasal UUPA, melainkan permasalahan-permasalahan lainnya yang ada di bumoe Aceh ini. Karena dengan bersatu kita teguh, sulitnya permasalahan juga akan runtuh. Semoga kita mampu berbuat untuk Aceh jaya, Aceh bermartabat.
Tulisan Ini telah terbit di salahsatu media online, cek link berikut :
http://www.acehtrend.co/wakil-rakyat-jangan-tidur-saat-sidang-soal-rakyat/
No comments:
Post a Comment